Saya awali tulisan ini dengan beberapa pertanyaan. Apa ada sekolah alternatif itu? Alternatif dari apa? Adakah sekolah yang bukan alternatif sehingga lahir sekolah alternatif untuk menandinginya? Kalau memang ada, bagaimana sepak terjang sekolah alternatif itu? Kalau tidak ada, mengapa muncul istilah sekolah alternatif?
Pertanyaan itu tidak perlu dijawab sekarang. Cukup sebagai pertanyaan penggoda supaya jendela berpikir terbuka dan ruang berpikir tidak terlalu pengap.
Ceritanya, pada siang yang panas, bertandang ke rumah saya seorang sahabat dengan wajah letih. Tanpa mukadimah ia langsung bercerita pengalamannya selama dua minggu mencarikan sekolah dasar untuk putrinya. Ia mengeluh betapa susahnya memilih sekolah swasta yang makin canggih dan piawai menjalankan strategi marketing. “Coba kamu pikir!” katanya, menyuruh saya berpikir, “Setiap sekolah yang saya datangi menyatakan dirinya sebagai sekolah alternatif.”
“Hebat itu. Kamu tinggal memilih salah satunya,” balas saya.
“Tidak semudah itu. Masalahnya mereka menawarkan dirinya sebagai satu-satunya sekolah alternatif. Sedangkan sekolah yang lain bukan alternatif,” ungkapnya kesal.
“Sekolah alternatif? Alternatif dari apa atau siapa? Saya benar-benar tidak mengerti.”
“Ah, kamu pura-pura bego,” seloroh sahabat saya.
“Dulu ada istilah sekolah unggulan. Unggul dari apa atau siapa? Siapa yang sedang mereka ungguli. Unggul dalam hal apa? Kalau ada sekolah unggul berarti ada sekolah yang tidak unggul. Mbok sudah, tidak usah terjebak dan pusing memberi label. Kerjakan saja pendidikan dengan serius, benar, dan nguwongke siswa.”
“Bagaimana dengan sekolah alternatif tadi?”
Inilah awal mula mengapa di bagian atas tulisan ini saya menyodorkan beberapa pertanyaan tentang sekolah alternatif. Apabila kita cermati istilah alternatif ini muncul sebagai bentuk perlawanan atas ketidakpuasan publik terhadap praktek pendidikan arus utama. Di tengah kegelapan praktek pendidikan yang bukan pendidikan, masyarakat mengidamkan layanan pendidikan yang menawarkan cahaya. Layanan pendidikan yang tidak begitu-begitu saja. Sebagai sebuah pilihan jalan keluar, lahirlah sekolah alternatif.
Karena itu, agar tidak keluar dari sarang ular lalu masuk ke sarang harimau, pertanyaan kritis untuk memandunya adalah seberapa alternatif sekolah itu memberikan layanan pendidikan? Pola dasar pendidikan alternatif macam apa yang ditawarkan sekolah? Atau lebih kongkretnya, alternatif layanan pendidikan seperti apa yang akan dijalankan?
Disarankan masyarakat atau calon wali murid tidak terjebak oleh istilah yang dilabelisasi. Identitas dan karakter murni sekolah tidak selalu tercermin dalam label yang mereka pasang. Misalnya label sekolah unggul, tidak otomatis sekolah tersebut unggul. Sementara sekolah yang tidak memasang label unggulan bisa jadi lebih unggul.
Demikian juga sekolah alternatif. Ada dua kemungkinan: alternatif yang menawarkan layanan pendidikan lebih manusiawi atau justru menggiring siswa menjadi robot yang diseragamkan dan distandarisasi pola pikirnya. Yang terakhir ini juga alternatif dalam praktek dehumanisasi pendidikan.
Jadi sekolah alternatif bukan berdasarkan klaim pihak sekolah, melainkan berakar dari filosofi pendidikan yang dijalankan. Meskipun tidak menyebut alternatif, sekolah yang memiliki akar filosofi pendidikan humanistik merupakan sekolah layak pilih di tengah maraknya praktek dehumanisasi. Sodoran alternatif, dengan demikian, adalah persoalan ideologi sekolah yang sengaja dihadirkan sebagai sikap perlawanan terhadap ideologi pendidikan yang tidak memanusiakan siswa.
Tentu saja semua sekolah akan mengklaim dirinya sebagai sekolah yang memanusiakan siswa. Namun, klaim itu akan terpatahkan ketika sekolah lebih memilih kompetisi daripada kerja sama. Lebih memilih prestasi daripada presisi layanan individual siswa. Lebih memilih prestise daripada apresiasi.
Maka, sekolah alternatif yang memiliki akar humanistik akan mengedepankan orientasi siswa (student oriented) - bukan dalam wacana - melainkan menjalankannya di hampir semua lingkup sistem dan pembelajaran. Lingkungan belajar sekolah secara sengaja didesain untuk menghargai anak, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial. Anak berinteraksi bukan terutama sebagai murid namun ada kalanya ia tampil sebagai manusia. Keduanya diakomodasi, dihargai, diapresiasi, dilejitkan, didukung, dikasihsayangi secara apa adanya.
Semua itu sejatinya bukan hal aneh mengingat kehidupan bergerak secara holistik. Sekolah alternatif mentransformasi pola kehidupan yang holistik dan membebaskan. Warga sekolah terjalin dalam lingkaran gerak komunitas yang saling menghidupi dan memberdayakan.
Jadi, pendidikan bukan semata urusan individual. Bukan sekedar ada gedung ada guru. Bila arus utama pendidikan masih berkutat pada sikap berpikir individual, lahirnya arus baru pendidikan makin tak terbendung lagi.[]
Jagalan 020616
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H