Meminjam ungkapan Romo Mangun Wijaya, “…pendidikan harus dinamakan gagal, apabila kita tidak mampu mendidik para peserta pendidikan kita menjadi manusia yang budiman,” – dan sudah saya singgung di tulisan Sekolah Bisu, dengan demikian Ta’dib adalah proses pendidikan berkasih sayang. Pendidikan yang membebaskan, yang mendefinisikan secara terus menerus siapa diri kita, yang tidak pernah mengenal final, yang memangku lingkungan, yang tetap berendah hati melewati tahapan-tahapan persyaratan sebuah ilmu. Ta'dib merupakan pendidikan yang berdaulat dengan dirinya sendiri.
Semua proses itu ditempuh apabila sekolah telah melepaskan dirinya dari ikatan budaya bisu. Sekolah yang menerima dan memperlakukan siswa sebagai manusia. Sekolah yang menjadikan kejujuran sebagai pilar utama proses pendidikannya, yang tidak pusing lagi oleh indeks kejujuran ujian nasional.
Dan lihatlah bagaimana proses Ta’dib dijalankan. “Dalam proses Ta’dib mereka tidak dituangi, tapi justru diproses untuk kosong kembali, baru kemudian digali kemungkinan-kemungkinan dari dalam diri mereka masing-masing. Kemungkinan itu bisa bakat, kecenderungan, potensi, susunan faktor-faktor yang ditakdirkan Tuhan pada diri setiap orang. Bisa juga sisa-sisa ilmu, pengetahuan dan pengalaman yang sudah mengendap, sudah mengalami sublimasi di dalam proses hidup mereka,” jelas Cak Nun.
Ketika proses itu berlangsung saya menyaksikan di tahap awal para pelajar dibebaskan, misalnya bagaimana mereka mengenalkan diri.Setelah beberapa sesi perkenalan mereka ditantang agar menemukan dan menampilkan cara dan bentuk lain dari perkenalan. Hasilnya, mereka sepakat membentuk pasangan dan setiap pelajar memperkenalkan diri sebagai teman pasangannya.
Bukan hanya itu. Pelajar SMK Global diajak menyelami kecenderungan paling permukaan, hingga pelan tapi pasti, menyelami kecederungan yang lebih dalam dan lembut di dalam dirinya.
Setiap sesi kegiatan selalu diakhiri dengan refleksi dan yang pertama kali harus menyampaikan adalah mereka sendiri. Cak Nun sebagai “wasit” berperan cukup bijak dan adil. Setiap pemikiran bukan hanya diapresiasi bahkan sesekali harus dipertanggung jawabkan. Cak Nun menyampaikan pertanyaan-pertanyaan kritis yang sejatinya adalah menggugah, membuka cakrawala, menuntun selangkah demi selangkah proses berpikir mereka.
Makin jelas bagi kita bahwa siswa bukanlah gelas kosong. Perangkat berpikir mereka harus diaktivasi. Siapapun yang mengaku dirinya seorang guru harus sanggup mengajak siswa mengembarai, menyelami, menganalisa, menghayati beragam realitas baik yang terjadi di dalam diri siswa maupun di lingkungannya.
Achmad Saifullah Syahid
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H