Kesalahan paling fatal dan tindakan terburuk seorang guru adalah ketika ia memberikan sesuatu atau menyodorkan informasi yang sebenarnya hak asasi murid untuk menelusuri dan memperolehnya secara mandiri. - Emha Ainun Nadjib –
Dalam tulisan sebelumnya, Sekolah Bisu, saya bukan hanya mencemaskan, bahkan saya mengalami bagaimana sebagian besar pelajar kita gagap dan terbata-bata menyampaikan ide, gagasan, perasaan. Beragam ekspresi, mulai dari saling lempar kesempatan, diam mematung, baru akan berbicara saja susahnya minta ampun, berbicara secara meledak-ledak, sampai saling melemparkan pandangan.
Pelajar kita mulai sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, dan mungkin juga dialami para mahasiswa mengalami kekacauan tata logika komunikasi. Di dalam kepala mereka tersedia bermacam-macam bahan pikiran namun mentah untuk disampaikan dalam alur komunikasi yang paling sederhana sekalipun.
Saya pikir mereka bukan terkendala soal keterampilan komunikasi – ada bundelan-bundelan yang lebih lembut dan mengakar sehingga komunikasi lisan atau tulisan mengalami hambatan yang serius.
Di tengah fakta sedih yang menindih hampir sebagian besar pelajar, saya diberi kesempatan hadir dan agak terlibat dalam kegiatan Ta’dib di sekolah yang berlokasi di pelosok timur kota Jombang. SMK Global menyelenggarakan Ta’dib setiap bulan. Sekolah di desa Mentoro itu boleh dikatakan cukup beruntung karena kegiatan yang aneh dan nyeleneh itu dipandu langsung oleh Emha Ainun Nadjib.
Ta’dib menghadirkan proses pendidikan yang sama sekali asing di tengah kecederungan para pelajar yang digiring menjadi makhluk tanpa pencernaan. Ilmu pengetahuan yang mereka terima dari guru langsung diminum, ditelan, dipercaya, dimasukkan ke dalam aliran darah, dijadikan shortcut sebagai bagian paling penting dalam kehidupan.
Mengapa Ta’dib dan kegiatan ini bernama Ta’dib? “Ta’dib itu, supaya tidak menjadi kelas pembelajaran bahasa, maksudnya “pem-beradab-an”. Proses pembelajaran, tidak harus pengajaran, untuk menjadi manusia beradab,” ungkap Cak Nun dalam "Ta’dib dan Kepala Dinas Tipudaya". Ya, Ta’dib adalah pember-adab-an. Proses pembelajaran untuk menjadi manusia beradab.
Alangkah berat “visi" dan "misi” kegiatan Ta’dib. Bahkan bukan hanya berat. Ta’dib merupakan upaya menebar benih kebenaran, kebaikan, keindahan, di ladang jiwa anak manusia untuk tidak segera diharapkan panen dalam waktu satu tahun atau dua tahun. Seiring dengan waktu berjalan benih itu akan tumbuh, terus tumbuh, mengakar, menjadi pohoh, dan kelak berbuah. Ta’dib bukan romantisme yang dirasuki pragmatisme tentang dongeng memudarnya moralitas di sebuah negara.
Bukankah pendidikan adalah menebar benih untuk masa depan? Coba bandingkan dengan sikap pragmatisme sekolah pada umumnya yang berpikir dalam satuan waktu yang cukup singkat, enam tahun atau tiga tahun. Pelaku Ta’dib adalah para petani yang mengolah tanah, menebar benih, merawatnya seraya mengikhlasi hati untuk menemui dua kemungkinan: panen ya bersyukur, tidak panen ya bersyukur. Kewajiban kita adalah menanam bukan memanen.