“Ah, ngaco kamu. Sekolah kok bisu!” protes seorang sahabat.
“Ngaco bagaimana. Saya serius. Sekolah bisu.”
“Kamu pasti mau meledek lagi dengan ungkapan sekolah bisu. Lha kamu tidak lihat apa! Guru-guru itu menyuruh siswanya diam di kelas yang kemriyek oleh suara-suara, malah kamu bilang bisu.”
“Fakta itu semakin menunjukkan sekolah memang sedang bisu.”
“Terserah kamu omong apa!” sahabat saya memutus obrolan malam hari itu.
***
Sengaja saya menggodanya. Padahal istilah “sekolah bisu” terinspirasi oleh Dr. Sylvia Tiwon. Dalam “Sekolah Memecah Budaya Bisu”, Guru Besar Universitas Berkelay itu, menulis: “Kebisuan di tengah-tengah kebisingan kata milik kepentingan di luar pengalaman realitas komunitas dan diri sendiri: inilah kebisuan hakiki. Dan kebisuan hakiki ini mematahkan hak dan daya untuk mendefinisikan dunia, mematahkan hak dan daya untuk membangun pengetahuan yang bukan sekedar informasi dalam arti fungsional atau instrumental.”
Praktek pendidikan kita terlalu bising mengumbar kata-kata: ujian nasional berbasis komputer, kurikulum 2013, uji kompetensi guru, sertifikasi guru, gerakan literasi sekolah. Atau cermati juga gegap gempita sekolah mempromosikan dirinya: visi misi yang kering dan basi, program Cambridge, program tahfidz Al-Quran, sekolah dengan fasilitas kelas atas, guru-guru berkualitas. Serta iming-iming melangit lainnya.
Kebisingan dan gegap gempita yang ditampilkan secara sembrono ke hadapan publik. Setali tiga uang. Masyarakat yang diperlakukan sebagai konsumen kehilangan daya kritis dan obyektifitas berpikirnya. Mereka mengamini dan masuk ke dalam perangkap cara berpikir bahwa apa yang ditawarkan sekolah menjadi kebutuhan pendidikan anaknya. Memilih sekolah bukan terutama berangkat dari kebutuhan anak. Tidak heran apabila sekolah menjadi seperti mobil: sarana untuk menyombongkan diri.
Sekolah bisu adalah sekolah yang mengubur filosofi pendidikan, menjadi sebentuk barang produksi yang dipaksakan agar dikonsumsi. Seperti sebuah doping, sekolah membius akal sehat lalu menampilkan di depan mata fatamorgana sukses masa depan. Padahal hal itu tidak lebih dari sebuah merk dan bungkus warna-warni namun isinya tidak jauh berbeda.
Di sebuah kota kabupaten dalam salah satu promosinya SMP swasta menampilkan Program Cambridge dan Tahfidz Al-Quran. Tidak salah dengan semua tampilan promo itu karena program kelas langit itu bertujuan untuk menarik konsumen. Kita yang menjumpai hal semacam itu hendaknya tidak tersihir oleh kemewahan dan citra elit yang hendak ditanamkan di otak kita. Apakah anak kita membutuhkan program seperti itu atau tidak tetaplah menjadi pertimbangan utama memilih sekolah. Ya, membutuhkan yang benar-benar dibutuhkan anak.
Setelah itu silahkan dicermati bagaimana program itu dieksekusi. Bagaimana rasioanalitas ketercapaian programnya? Bagaimana tata kelola program itu dilaksanakan di antara program belajar lainnya? Bagaimana persiapan dan kesiapan sekolah mewujudkan janji-janjinya? Dan beberapa sikap kritis lainnya. Saya pernah menjumpai sekolah yang menawarkan program menghafal Al-Quran namun struktur pembelajarannya justru menanam kegagalan bagi program hafalan itu sendiri.
***
Kesalahan paling fatal dan tindakan terburuk seorang guru adalah ketika ia memberikan sesuatu atau menyodorkan informasi yang sebenarnya hak asasi murid untuk menelusuri dan memperolehnya secara mandiri, demikian guru saya mengingatkan. Dan inilah awal kebisuan sekolah dimulai. Ketika siswa dipangkas kesanggupan berpikirnya karena segala sesuatunya sudah disiapkan dalam paket-paket. Ketika prestasi menjadi alat untuk mengangkat prestise sekolah. Ketika kompetisi menjadi pisau untuk saling membunuh dan mengalahkan. Ketika citra sekolah menjadi parameter keunggulan. Ketika sekolah hanya menyodorkan materi ajaran (teori, pendapat, wejangan, kesimpulan).
Sesekali bertanyalah kepada siswa kelas empat atau kelas lima sekolah dasar. Misalnya, “Mengapa kota kita sering terjadi banjir?” Atau pilih pertanyaan paling sehari-hari. Lalu dengarlah apa yang keluar dari bibirnya. Saya kerap prihatin bagaimana anak-anak sekolah dasar gagap, terbata-bata, putus-putus, sepenggal-sepenggal bahkan tidak jarang macet sebelum menyampaikan gagasannya.
Anak-anak itu ingin sekali menyampaikan gagasan dan pendapat yang bergumpal-gumpal di dalam kepalanya. Namun, entahlah, seperti ada tembok menjulang yang menghadang aliran pikiran mereka. Semakin jelas menunjukkan bahwa mereka tidak terlatih menyusun pikiran dan mengkomunikasikannya. Mereka terlalu sering diposisikan sebagai makhluk telanjang dan bisu yang hanya memiliki satu piilihan: diberi pengetahuan. Sekolah sukses mencetak mereka menjadi manusia peniru.
Terakhir, patut kita renungi bersama pesan Romo Mangun Wijaya. “Walaupun kepandaian, kecerdasan, kepintaran adalah dimensi yang penting, namun dalam negara yang berada dalam iklim “Panca Celaka”, korupsi, gontok-gontokan dan semua masih serba hukum rimba, pendidikan harus dinamakan gagal, apabila kita tidak mampu mendidik para peserta pendidikan kita menjadi manusia yang budiman.”
Hemm…manusia budiman, kok saya yakin, tidak akan lahir dari sekolah bisu. Jadi? Ya jangan menjadikan sekolah bagian dari budaya bisu. []
Achmad Saifullah Syahid
Ilustrasi: Bisu
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI