Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Alternatif yang Naif

30 Mei 2016   20:28 Diperbarui: 30 Mei 2016   20:46 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ceria Usai Menanam Bakau

Sebuah pemandangan yang tak lazim: anak-anak berseragam Taman Kanak-Kanak mengusung batu-batu kecil di jalanan yang berlubang. Batu-batu itu diturunkan dari truk. Panas matahari tidak menghalangi keceriaan anak-anak di sepanjang jalan yang berlubang-lubang. Mereka berlari-lari menuju truk pengusung batu, menunggu giliran berikutnya untuk mengangkut batu-batu kecil.  

Apa yang sedang mereka lakukan? Anak-anak TK itu terlibat dalam kegiatan bersama memperbaiki jalan dusun. Digagas oleh guru, wali murid, dan warga dusun mereka bersepakat, jalanan yang berlubang sekaligus berbatu-batu, tidak boleh dibiarkan begitu saja. Para guru TK Harapan Bajulmati turun tangan melakukan “perbaikan” jalan. Harap dicatat, mereka sedang tidak memperkerjakan anak. Para guru, melibatkan siswa karena sejak awal berdiri TK Harapan Bajulmati teguh memegang prinsip bahwa sekolah tidak boleh tercerabut peran dan fungsinya dari lingkungan.

TK Harapan Bajulmati berada di bawah naungan Lembaga Pendidikan Harapan Bajulmati. Dipandegani oleh Shohibul Izar dan Mahbub Junaidi, pengabdi dan pendidik yang me-waqaf-kan hampir seluruh hidupnya untuk pengembangan pendidikan di dusun terpecil Kabupaten Malang selatan.

TK yang teramat percaya diri di tengah keterbatasan semua hal untuk bertekad tidak takluk oleh keadaan. “Fasilitas terbatas, kualitas kelas atas,” demikian tekad Mahbub Junaidi. Bagi sebagian orang yang memuja pendidikan mahal dengan mengandalkan tumpukan fasilitas mewah, tekad itu terasa riskan. Naif bahkan.

Bagaimana tidak? Jangankan untuk sebuah bangunan yang layak disebut sekolah, fasilitas publik seperti jalan dusun, mereka bergugur gunung mengatasinya secara gotong royong.

Beraksi dalam
Beraksi dalam
Jalan lintas selatan yang menghubungkan pantai Sendangbiru sampai pantai Balekambang Malang selatan, yang melewati wilayah dusun Bajulmati, terbilang sangat istimewa. Namun tidak dengan jalanan yang memasuki dusun. Kontradiksi layanan publik seperti itu tidak cukup diomongkan, didiskusikan, diperdebatkan. Jalan akan tetap berlubang dan makin berlubang-lubang saat musim hujan datang.

Maka, para guru, siswa, dan warga bergerak dalam satu tekad yang sama: kita harus berdaya dan memberdayakan diri. Anak-anak yang bersekolah di TK Harapan Bajulmati dilibatkan dalam “proyek” gugur gunung itu karena justru anak-anak itu masih anak-anak. Apakah para guru dan warga bertindak kejam dengan melibatkan para bocah dalam kegiatan yang layak dikerjakan orang dewasa?

Tentu jawabnya, tidak. Tidak ada kekejaman di sana. Justru yang hadir dan terjadi adalah kepedulian. Bahwa pendidikan harus peduli dan terlibat aktif menawarkan solusi bagi dinamika problem lingkungan di dusun Bajulmati, bukan slogan dan omong kosong. Anak-anak TK Bajulmati sengaja dilibatkan karena sejak awal pendidikan di dusun paling selatan kabupaten Malang itu berkomitmen terhadap guyub rukun komunitas.

Anak-anak TK diajak langsung ke lokasi perbaikan jalan lalu bergugur gunung sesuai dengan kemampuannya. Pesan edukasinya adalah tembok pembatas kelas bukan penghalang untuk terus belajar. Alam dan lingkungan merupakan sumber belajar yang melimpah dan menantang.

Keterlibatan warga TK Harapan Bajulmati terhadap aksi pemberdayaan lingkungan bukan sekali ini saja. Secara berkala mereka rutin menjaga kelestarian hutan bakau di sepanjang garis pantai dan muara. Shohibul Izar, salah seorang pengabdi dan penggiat pendidikan di Bajulmati melakukan pembibitan tanaman bakau. Proses pembibitan pun melibatkan guru dan siswa TK Harapan Bajulmati.

Yang menarik adalah ketika para tamu berkunjung ke dusun Bajulmati, penanaman bibit bakau menjadi “menu” wajib. Mereka bersusur sungai menuju lokasi penanaman. Di tengah perjalanan, dengan menggunakan perahu sampan, Shohibul Izar menjelaskan dan menjawab pertanyaan dari para tamu. Sebuah konsep wisata yang semata bukan untuk bersenang-senang melainkan ditanamkan pula nilai edukasi lingkungan dengan aksi nyata.

Meskipun sejak awal keberadaan lembaga pendidikan Harapan Bajulmati bukan hendak melahirkan sekolah alternatif, apa yang mereka kerjakan sungguh menampilkan harapan dan optimisme bahwa di tengah menjamurnya “sekolah bisu” telah hadir pula sekolah yang berhasil menempatkan peran dan fungsinya secara tepat di tengah lingkungan.

Ungkapan “sekolah bisu”, saya pinjam istilah ini dari Dr. Sylvia Tiwon, Guru Besar di Universitas Berkelay. Dalam prolog buku Sekolah Biasa Saja, Sylvia menulis, “Sekolah alternatif mengembalikan nilai manusia pada tempatnya yang utama dalam masyarakat dan dalam sekolah, meruntuhkan tembok pemisah antara keduanya.” Ya, komunitas pendidikan warga dusun Bajulmati telah melahirkan pendidikan alternatif yang terkesan "naif".

Sekolahku Banyak Jendelanya
Sekolahku Banyak Jendelanya
Dan yakinlah, para sahabat saya di dusun Bajulmati tidak mengetahui detail-detail teori pendidikan. Mereka berbekal kasih sayang: sebuah daya pengubah, daya memanusiakan, daya membebaskan, daya memberdayakan sesama. Mereka menyelenggarakan pendidikan dilandasi oleh kasih sayang. Mungkin terkesan cengeng atau romantis. Kasih sayang dikonotasikan sebatas pendidikan keluarga, antara orangtua dan anak. Sementara di lingkungan sekolah, kasih sayang telah lama ditinggalkan. Tidak heran apabila pendidikan kehilangan ruh: lahirlah para zombie. 

Di Bajulmati kita akan bertemu dengan manusia, ngajeni manusia sebagai manusia. Pendidikan ala dusun itu mendidik manusia agar tidak tergerus harkat dan martabat dirinya sebagai manusia. Semoga. [}

Achmad Saifullah Syahid

Sumber Foto: Mahbub Junaidi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun