Amir Sodikin dalam tulisan Politik Menjual Ketakutan, menyoroti salah satu tugas tim sukses adalah bagaimana kandidat yang biasa saja menjadi menjadi kandidat yang mengilap. Isu yang digoreng seputar krisis dan ketakutan.
Terbersit di benak saya sebuah tanya: apakah pendidikan melakukan hal serupa? Pendidikan menjual ketakutan? Ketakutan macam apa yang laris dijual oleh pendidikan khususnya sekolah?
Pintu pendaftaran siswa baru telah dibuka. Sekolah berlomba mempercantik diri. Strategi branding dan marketing disusun. Spanduk dan baliho terbentang di hampir setiap perempatan jalan. Saking bernafsunya tingkat keterbacaan kalimat tidak diperhitungkan. Padat bertumpuk-tumpuk. Mustahil dibaca oleh pengendara dalam waktu tidak lebih dari lima detik.
Saya tidak memanjang-lebarkan tampilan komunikasi desain visual spanduk dan baliho penerimaan siswa baru yang miskin konsep. Namun, mari kita cermati bagaimana sekolah menampilkan dirinya dalam citra visual. Saya kok mengamati banyak sekolah tampil tidak percaya diri di tengah arus komunikasi massa.
Visi misi sekolah selalu menjadi teks wajib di setiap tampilan spanduk atau baliho. Capaian masa depan yang hendak diraih oleh setiap lembaga “garis finis” nya hampir tidak berbeda. Keontentikan visi misi sekolah jarang ditemukan. Visi misi disusun dengan sikap berpikir yang cukup standar. Bahkan terkesan nomatif dan sekedar menjadi teks pelengkap.
Visi sekolah disusun untuk memenuhi poin penilaian akreditasi sekolah. Tidak lebih dari itu. Akreditasi sekolah selesai, selesai pula “nasib” visi dan misi sekolah. Begitu pula “nasib” program sekolah yang tertulis di spanduk dan baliho. Program Tahfidz Al Quran, Cambridge, pembelajaran berbasis IT, belajar tanpa bawa buku tapi bawa tablet, dan sederet prestasi individu siswa tak luput memenuhi ruang sepanduk dan baliho yang terbatas.
Program sekolah yang melangit. Mewah tapi miskin. Calon wali murid hendaknya tidak tergoda atau termakan kemewahan yang miskin itu. Mewah, karena program yang ditampilkan merupakan strategi branding dan marketing yang bertujuan untuk mendongkrak citra lembaga. Miskin, karena pelaksanaan program tidak seindah pencitraannya.
Wali murid yang termakan oleh strategi branding dan marketing itu akan memiliki “ketakutan” untuk menyekolahkan anaknya di sekolah yang dikesankan murah dan miskin fasilitas. Akhirnya mereka rela membayar dengan harga mahal untuk membeli fasilitas dan program yang ditawarkan.
Praktek transaksional ini sejatinya menafikan faktor guru sebagai pemeran pendidikan yang utama. Guru dihitung sebatas pekerja pendidikan yang akan puas apabila dibayar mahal. Soal kompetensi pedagogis dan integritas kepribadian bukan menjadi faktor utama memilih sekolah.
“Ketakutan” berikutnya yang sering dijadikan bahan pencitraan sekolah adalah fakta kerusakan moral di masyarakat. Strategi sekolah untuk merayu masyarakat dan calon wali murid menggunakan bahan dan data tentang kenakalan remaja, hamil di luar nikah, penggunaan narkoba, dan sejumlah fakta menakutkan lainnya.
Sekolah tampil sebagai institusi pendidikan yang akan menanggulangi kerusakan moral itu. Calon wali murid diyakinkan dengan program pendidikan yang diasumsikan akan mencetak generasi masa depan yang cerdas dan berbudi luhur.
Baik bukan? Sangat baik dan layak kita dukung. Namun, sebagai calon wali murid kita perlu bersikap kritis. Hendaknya kita tidak terpukau dan mengamini begitu. Jangan terpana oleh penampilan luar. Kita harus mencermati esensi atau bahkan filosofi pendidikan yang menjadi pondasi di sekolah tersebut.
Bagaimana visi misi sekolah diterjemahkan dalam laku nyata program pendidikan? Bagaimana program-program itu dijalankan? Bagaimana integritas para guru? Bagaimana rasionalitas mekanisme program itu dijalankan sehingga sekolah mengklaim sebagai program unggulan?
Saya pernah menjumpai sekolah yang memasang branding program menghafal Al Quran. Tidak tanggung-tanggung. Strategi marketing dijalankan untuk mengesankan bahwa program hafalan Al Quran itu adalah program utama. Tamat dari sekolah tersebut siswa hafal al quran. Kesannya seperti itu.
Namun apa yang terjadi? Setelah dipelajari mekanisme pembelajarannya tidak mendukung untuk mencapai target hafalan. Siswa akan hafal saat lulus sekolah rasanya baru berhasil apabila turun mukjizat. Dalam kasus ini, program menghafal al quran adalah asesoris untuk menarik minat masyarakat.
Kita perlu berhati-hati, bersikap kritis, berpikiran terbuka sebelum menentukan pilihan sekolah untuk buah hati kita. Bukankah kita tidak ingin terjebak oleh branding sekolah yang mencitrakan kucing sebagai harimau?
Pencitraan bukan dosa selama ia dibangun dengan mengedepankan integritas sekolah sebagai institusi pendidikan. Masyarakat dan wali murid hendaknya mengamati, mencermati, mengkritisi pencitraan yang dilakukan sekolah, terutama menjelang pendaftaran siswa baru, agar tidak ada pihak yang disesatkan.
Merancang dan membangun citra sekolah tidak boleh bersifat pragmatis. Ia harus memiliki arah dan target yang jelas dan terukur. Citra sekolah harus mengacu pada visi misi pendidikan. Jelas bagi kita, visi misi sekolah bukan asesoris.
Gerakan pencitraan sekolah yang efektif tercermin dari kebersamaan warga sekolah dalam menjunjung dan mengaplikasikan nilai-nilai sekolah. Semua warga sekolah terlibat dan merasa kehadirannya di sekolah memiliki makna dan fungsi. Sehingga pencitraan sekolah akan mengoptimalkan dan menghargai seluruh potensi warga sekolah.
Apa artinya citra sekolah gilang gemilang apabila integritas sekolah keropos. Karena itu, pencitraan sekolah selalu mengedepankan sikap terbuka terhadap perubahan dan kejujuran menjalani proses pendidikan.
Bagaimana, masih ingin memilih kucing yang dicitrakan sebagai harimau?
Jagalan 120506
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI