Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hari Gini Tanya Bocoran Soal?

10 Mei 2016   01:26 Diperbarui: 10 Mei 2016   10:42 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Orang yang dipanggil 'Bu' itu menjawab, “Kalau ketahuan ada, pasti bu rini laporkan ke ridwan kamil.” Ada komentar tertulis, "Hari gini... Masih saja ada yg tanya bocoran ya Bu,"

Meski sempat kecolongan dengan ketidakjujuran anak sulungnya, saya sangat mengapresiasi ketegasan sikap sahabat saya kepada putra bungsunya agar menomorsatukan kejujuran. Saya terpana benar dengan pesan itu. Jujur adalah sikap kesatria.

Kesatria yang sudah memenangkan pertempuran sebelum 'pertempuran' Ujian Nasional dimulai. Sikap kunci seperti ini sungguh dibutuhkan oleh siswa yang sedang menempuh ujian. Soal nanti dapat nilai berapa di setiap mata pelajaran yang diujikan, itu urusan berikutnya. Pokoknya jujur terlebih dahulu.

Mekanisme kecurangan pelaksanaan UN seperti api tanpa kendali, membakar filosofi pendidikan itu sendiri. Sikap jujur para guru dan siswa seakan dinihilkan sebagai bukan prestasi. Pragmatisme yang memuja-muja prestasi akademik dijadikan berhala kesuksesan. Entah sadar atau tidak, entah nurani merasa tertindas atau justru menutup mata, tidak sedikit mereka terjebak dalam lingkaran pemberhalaan prestasi.

Bagi para penyembah berhala materialisme pendidikan, prestasi adalah ketika rata-rata nilai UN mengungguli sekolah lain. Prestasi adalah ketika sekolah berhasil mengantarkan satu atau dua siswa atau bahkan semua siswanya meraih nilai ujian UN setinggi-tingginya. Prestasi adalah mencapai keberhasilan sebatas dilihat mata.

Yang tidak terlihat mata, seperti sikap jujur, bagi penyembah materialisme pendidikan, bukan prestasi. Kecurangan, ketidakjujuran, kebodohan, tidak berlakunya logika yang sehat, menindas nurani sendiri, bukan bencana. Bagi mereka yang disebut bencana adalah ketika nilai rata-rata sekolah berada di urutan paling dasar. Lalu kepala sekolah dipanggil dan dihakimi kepala dinas pendidikan setempat. Lalu dimutasi ke daerah terpencil. Lalu terputuslah akses kepala sekolah menikmati lahan basah di sekolah yang berada di kota.

Dapat kita bayangkan, betapa sangat berbahayanya sikap pragmatisme yang mengorbankan harkat dan martabat ini. Siswa digiring menjadi manusia tanpa ruh, tanpa kesadaran harga diri, tanpa cakrawala keadilan. Mereka dididik untuk menjadi seonggok pemuja wadagisme. Sungguh miris.

Sedangkan memegang sikap jujur sebelum, sedang, dan sesudah ujian merupakan prestasi puncak bagi para pendaki yang tidak rela martabat dan harga dirinya hangus dibakar api pemberhalaan yang menyesatkan.  

Pesan bapak kepada anaknya di atas –-jujur adalah sikap seorang kesatria-– kelak akan menjadi password bagi pintu masa depan putranya. Kalimat yang tertancap di relung jiwa sang anak bagaikan bibit pepohonan, yang tidak serta merta tumbuh dan berbuah dalam tempo satu tahun atau dua tahun. Bibit itu akan terus tumbuh dan berkembang seiring perjalanan waktu, menjadi pepohon besar yang berbuah.

Sekarang, mari kita rasakan nuansa pertanyaan, “Bu mau txa, ada bocoran soal UN tingkat Smp gak?” Terasa sekali, bahkan jangan-jangan, sang penanya sendiri tidak menyadari bahwa ia sedang berbuat tidak pantas. Ia bertanya seringan membeli pulsa. “Bu jualan pulsa gak?”

Langit serasa runtuh. Siswa SMP sudah dengan sangat enteng bertanya tentang sesuatu yang tidak layak ditanyakan. Logika berpikir macam apa yang menjalari sel-sel otakanya? Getaran ilham seperti apa yang mendorongnya berani bertanya? Tingkat kerumitan emosional model bagaimana yang menyergap perasaannya? Gambaran masa depan seperti apa yang hadir di matanya? Variabel internal-eksternal psikologis tingkat berapa yang menghasilkan kebingungan sedemikian rupa hingga melumpuhkan tatanan nilai yang dipelajarinya melalui pendidikan agama?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun