Ilustrasi: Guru, Sang Leader (http://www.kesekolah.com/images2/big/2013043014465952178.jpg)
Seorang konsultan pendidikan pernah mengeluh kepada saya bahwa formula yang dia pakai untuk memperbaiki kinerja, katakanlah sekolah X, gagal. Menurut pengakuannya formula itu cukup berhasil diterapkan di beberapa sekolah lainnya. Indikasi keberhasilannya, menurut sang konsultan, kinerja kepala sekolah dan guru meningkat.
Sekolah yang berhasil dia tangani semangat dan etos kinerjanya seperti terlahir kembali. Mirip motor yang baru turun mesin.
Adapun berhadapan dengan budaya kerja sekolah X, konsultan kita geleng-geleng kepala. Obat yang dia berikan nyaris bertahan hanya dua bulan. Pada bulan berikutnya tidak terjadi perubahan yang signifikan.
Konsultan kita pun tidak pernah nongol lagi di sekolah. Mungkin kontraknya menjadi “dokter” untuk menyembuhkan “penyakit” sudah habis. Rutinitas kerja di sekolah itu kembali normal, adem ayem, meskipun di bawah tanah kesadarannya tersimpan bara.
Saya teringat pesan Randy Stocklin, Co-Founder and CEO, Readers.com. “Leaders inspire people through a shared vision and create an environment where people feel valued and fulfilled." Kepiawaian menginspirasi dan melihat visi masa depan saya pikir hampir setiap pemimpin sanggup memenuhinya. Adapun bagaimana visi itu diwujudkan dalam sebuah hope management merupakan tantangan tersendiri yang tidak kalah berat dan melelahkan.
Mengapa berat dan melelahkan? Perubahan yang digerakkan untuk mencapai visi masa depan sejatinya tidak pernah selesai. Pada saat yang sama, ia harus membuka mata para penumpang kapal agar menyadari realitas kekinian. Situasi mendesak dan darurat sudah di depan mata.
Baru di tahapan ini saja pemimpin perubahan akan menghadapi lipatan-lipatan tantangan dari dalam, yang apabila ia tidak berteguh hati, dipastikan gagal mengatasi myopi para penumpang. Maka sebelum mengembangkan visi, sang pemimpin perlu membangun koalisi yang kokoh.
Menciptakan lingkungan dimana orang yang berkoalisi dengan sang pemimpin merasa dihargai, menemukan urgensinya. Mereka yang diajak berubah merasa diuwongke. Diorangkan. Kehadiran mereka di tengah koalisi memiliki makna. Benar kata Stocklin, “…create an environment where people feel valued and fulfilled.”
Secanggih apapun argumentasi yang dipaparkan, sekuat apapun hegemoni kekuasaan yang ditancapkan, seseram apapun ia mamasang tampang wibawa, apabila tidak menghargai orang di sekelilingnya, apabila gagal menjadikan orang lain bermakna di tengah lingkungan kerja – ia bukan seorang pemimpin.
Nah, dari sini kita memahami kelalaian sang konsultan. Ia menyuntikkan formula untuk mengobati “sakit gigi” kinerja yang diprediksi akan sembuh sebulan dua bulan. Sang konsultan hanya memberikan obat antibiotik pengusir rasa sakit.
Ia belum menggali untuk menemukan akar persoalan. Bahkan ia tidak mengidentifikasi sama sekali, diantara para guru dan karyawan, siapakah yang menjadi leader diantara mereka? Bukankah kepala sekolah adalah leader? Belum tentu. Kepala sekolah adalah jabatan struktural, yang kita semua tahu, tidak selalu menampilkan kualitas seorang leader.
Kepala sekolah, karyawan, nuansa psikologi lingkungan kerja, relasi guru dan wali murid, aura kejanggalan visi dan misi sekolah, pragmatisme pemilik sekolah – pokoknya terdapat banyak variabel kontekstual yang luput dan tidak tersentuh.
Masalah yang dihadapi sekolah lebih kompleks daripada variabel yang diasumsikan sang konsultan. Ia tidak bisa serta merta datang ke sekolah, menawarkan formula-formula tanpa melakukan analisis rasional sebelum mengambil keputusan, lalu mengajak guru dan karyawan melakukan kegembiraan kecil dengan harapan esok hari persoalan akan selesai.
Lebih dari itu, di tengah perubahan eksternal yang fluktuatif dan cepat, meminjam ungkapan Senge (1990), sekolah harus menjadi organisasi yang selalu belajar. Sekolah yang terus belajar dari aneka perubahan baru, mengadaptasi ekspektasi masyarakat dan wali murid – dan yang paling mendesak dari semua itu adalah senantiasa memperbarui sifat dasar dari apa yang semestinya diyakini, diperbuat, dan dituju.
Patut disayangkan, konsultan pendidikan dan pengawas pendidikan kerap terjebak dalam pragmatisme standarisasi. Variabel yang digunakan untuk mengukur perubahan cenderung kolot dan tidak merefleksikan betapa penting merestruktur visi sekolah secara periodik.
Jauh panggang dari api. Konsultan hanya mengajak kepala sekolah, guru, dan karyawan bermain-main air. Pengawas sekolah hanya menggunakan formalisme penilaian kinerja yang selalu disambut kecut oleh para guru.
Karena itu, konsultan dan pengawas pendidikan tidak akan sanggup memimpin perubahan di setiap sekolah yang mereka kunjungi. Fungsi mereka adalah semacam katalisator, mempercepat laju reaksi-reaksi (perubahan di sekolah). Sebuah katalis berperan dalam reaksi tapi bukan sebagai pereaksi atau produk (Katalis – Wikipedia bahasa Indonesia)
Siapakah pemimpin perubahan itu? Siapakah pelaku perubahan itu? Perubahan dipimpin oleh kepala sekolah dan pelaku perubahan adalah semua civitas sekolah. Tidak berlebihan kiranya apabila kita berharap kepala sekolah bukan sekedar jabatan struktural. Kepala sekolah dan para guru adalah leader di lingkungan sekolah.
Leadership is the ability to guide others without force into a direction or decision that leaves them still feeling empowered and accomplished. – Lisa Cash Hanson, CEO, Snuggwugg.
Kepada para sekolah dan guru, selamat memimpin perubahan. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H