Ilustrasi: Sang Pengabdi (Dok.pribadi)
Data Ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) 2015 Kemendikbud menunjukkan hampir di setiap provinsi kekurangan guru PNS. Angka kebutuhan guru ideal (AKG) kebutuhan guru PNS mencapai 492.765 orang. Jawa Barat membutuhkan guru paling tinggi yaitu 99.176 orang. Jawa Tengah menyusul yaitu 54.431 orang dan berikutnya Jawa Tmur, 52.837 orang.
Data di atas menunjukkan peluang bagi mereka yang ingin berkarier sebagai guru. Menjadi guru PNS memang menggiurkan. Sampai hari ini guru PNS menjadi impian bukan hanya bagi lulusan keguruan dan pendidikan, bahkan sarjana lintas jurusan pun tak segan berbaris antri melamar.
Nampaknya, selain motivasi mendidik dan mencerdaskan anak bangsa, status sosial yang lumayan mentereng di masyarakat, dan fasilitas jaminan hidup masa depan tak perlu diragukan lagi. Dorongan motivasi manakah yang mendominasi para pemburu guru PNS, saya tidak tahu persis. Kenyataannya setiap pendaftaran guru PNS dibuka, para lulusan perguruan tinggi beramai-ramai mengadu nasib. Antri menjadi pahlawan tanpa tanda jasa.
Tetapi tidak dengan teman saya. Ia terkesan cuek. Tidak peduli dengan formasi-formasi tes guru PNS. “Kapan-kapan saya akan daftar,” demikian jawabnya, setiap kali ditawari tes guru PNS. Kapan-kapan itu entah sampai kapan. Sampai sekarang gelagat 'kapan-kapan' itu tidak berubah.
Lantas apakah ia menganggur? Sejak tahun 1992 teman saya mengungsi. Bukan karena frustasi. Ia melemparkan dirinya ke tengah dusun terpencil di Kabupaten Malang Selatan. Hidup bersama warga dusun. Ia menjalani kehidupan sosial masyarakat, yang menurut pendapat teman saya, masih primitif. Kebiasaan bertukar pasangan antar suami istri bukan perilaku yang tabu.
Suatu sore ia bertemu siswa yang baru tamat sekolah dasar di dusun itu. Anehnya, sang anak tamatan SD belum bisa membaca dan menulis. Naluri teman saya sebagai pendidik jebol. Keprihatinannya memuncak. “Hanya dengan pendidikan harkat hidup warga akan terangkat,” tekadnya.
Teman saya mulai bergerak dari rumah ke rumah. Njagong. Namun bukan sekedar njagong seperti kebiasaannya mengguyub-rukuni warga. Ia merayu terutama ibu-ibu yang sering mengajak anaknya berkebun. Anak-anak tidak masuk sekolah karena membantu ibunya meladang.
Awalnya ibu-ibu menolak keras. Memenuhi kebutuhan sehari-hari untuk bertahan hidup lebih penting daripada sekolah. Teman saya tidak patah arang. Ia rela mendatangi ladang-ladang untuk mendongengkan cerita di sela-sela sang anak membantu ibunya.
Beberapa dongeng dijadikan cerita bersambung. Anak-anak pun ketagihan. Di waktu istirahat siang sang ibu kadang ikut menyimak dongeng kawan saya. Teman saya menyelipkan pesan-pesan pendidikan. Bahasa akademiknya, ia membangun visi masa depan pendidikan para orang tua di dusun itu.
Mendidik ternyata bukan urusan mengajar baca tulis. Dan teman saya sadar sepenuhnya akan hal itu. Di tengah membangun paradigma pendidikan ala dusun, ia bahkan berhadapan secara frontal dengan warga yang menolak keras rencanya mendirikan taman kanak-kanak.
Pelan namun pasti, ia merintis taman kanak-kanak. Rumah tinggal teman saya, yang dipinjami salah seorang warga dusun, merelakan ruang tamunya beralih fungsi menjadi kelas pembelajaran. Fasilitas lainnya tergolong sangat minim dan serba terbatas.
Tak habis akal. Anak-anak usia taman kanak-kanak itu diajaknya pergi keluar. Mereka belajar di kebun, sawah, bukit, muara, pantai. Kini, taman kanak-kanak itu bernama TK Harapan Bajulmati. Di dusun sebelah dibuka 'cabang' baru. Namanya TK Gua Cina. Sekolah dasar Harapan Bajulmati pun mulai menerima siswa sejak dua tahun lalu.
Teman saya 'gagal' menjadi guru PNS. Namun ia sukses menjadi pendidik yang memberdayakan warga dusun dengan konsep sekolah komunitas. Saya geleng-geleng kepala. Pasalnya, konsep sekolah komunitas itu digagas dan dijalankan jauh sebelum para pakar pendidikan melontarkannya ke publik. Taman kanak-kanak dan sekolah dasar itu, kini, menjadi sekolah bersama yang dimiliki oleh semua warga.
Teman saya benar-benar gagal menjadi guru PNS. Ia pasti tidak menerima tunjangan profesi guru. Tidak menerima gaji bulanan. Tidak akan menikmati gaji pensiun.
Di saat para guru PNS mengikuti pelatihan di ruangan ber-AC dengan uang transport yang lumayan banyak, sahabat saya ber-gugur gunung dengan warga menanam bibit bakau di muara. Di saat guru PNS dan guru swasta meninggalkan murid-muridnya di kelas untuk melengkapi berkas-berkas sertifikasi, sahabat saya memandu siswa TK dan sekolah dasar belajar berenang di muara. Di saat guru formal sekolah menikmati liburan bersama siswa di tempat rekreasi, sahabat saya mengajak anak-anak dusun menanam pohon sengon di sepanjang jalan dusun.
Akan sangat panjang apabila paradoksal sikap mendidik sahabat saya dan guru-guru formal sekolah saya tulis di sini. Dan sahabat saya memang senyata-nyatanya gagal menjadi guru PNS. “Saya dan kawan-kawan pengabdi di sini,” cetus sahabat saya, “Memang tidak memiliki penghasilan tetap. Namun, kami tetap memiliki penghasilan. Kami tidak memiliki gaji tetap tapi tetap memiliki gaji.”
Bagaimana bisa? Teman saya dan para sahabatnya sesama pengabdi, pemuda-pemudi dusun yang peduli dengan masa depan anak-anak, adalah pekerja keras. Mereka tidak mengandalkan bantuan profesi dari pemerintah. Mereka bukan guru PNS dan mereka pasti akan gagal menjadi PNS karena ijazah mereka yang rata SMA sama sekali tidak memenuhi syarat formal diterima sebagai guru PNS.
Mereka bukan birokrat. Mereka adalah pekerja keras. Pejuang hidup. Mandiri memenuhi kebutuhan keluarganya dengan ngarit untuk pakan sapi. Menjadi petani. Berternak lele. Berkebun pisang. Dan di sela-sela kerja keras itu mereka mendidik anak-anak dusun.
Sementara banyak guru yang sudah menjadi 'guru’ di sekolah formal dengan gaji lumayan besar masih mengeluhkan lambatnya pencairan tunjangan profesi. Saya tidak menyalahkan sertifikasi. Namun, apakah selamanya kita akan terus mengeluh di tengah keberlimpahan ini? Padahal teman saya dan sahabat-sahabatnya lebih pantas untuk 'mengeluh'.
Namun, hal itu tidak sempat mereka lakukan karena emosi, pikiran, tenaga, dan waktu mereka tercurah untuk mendidik anak-anak dusun dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tidak ada keluhan. Hanya ada tetesan keringat yang bercahaya. []
Jagalan 060516
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H