Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menilik Perjuangan Pendidik yang Bukan PNS

6 Mei 2016   13:35 Diperbarui: 6 Mei 2016   17:56 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pelan namun pasti, ia merintis taman kanak-kanak. Rumah tinggal teman saya, yang dipinjami salah seorang warga dusun, merelakan ruang tamunya beralih fungsi menjadi kelas pembelajaran. Fasilitas lainnya tergolong sangat minim dan serba terbatas.

Tak habis akal. Anak-anak usia taman kanak-kanak itu diajaknya pergi keluar. Mereka belajar di kebun, sawah, bukit, muara, pantai. Kini, taman kanak-kanak itu bernama TK Harapan Bajulmati. Di dusun sebelah dibuka 'cabang' baru. Namanya TK Gua Cina. Sekolah dasar Harapan Bajulmati pun mulai menerima siswa sejak dua tahun lalu.

Teman saya 'gagal' menjadi guru PNS. Namun ia sukses menjadi pendidik yang memberdayakan warga dusun dengan konsep sekolah komunitas. Saya geleng-geleng kepala. Pasalnya, konsep sekolah komunitas itu digagas dan dijalankan jauh sebelum para pakar pendidikan melontarkannya ke publik. Taman kanak-kanak dan sekolah dasar itu, kini, menjadi sekolah bersama yang dimiliki oleh semua warga.

Teman saya benar-benar gagal menjadi guru PNS. Ia pasti tidak menerima tunjangan profesi guru. Tidak menerima gaji bulanan. Tidak akan menikmati gaji pensiun.

Di saat para guru PNS mengikuti pelatihan di ruangan ber-AC dengan uang transport yang lumayan banyak, sahabat saya ber-gugur gunung dengan warga menanam bibit bakau di muara. Di saat guru PNS dan guru swasta meninggalkan murid-muridnya di kelas untuk melengkapi berkas-berkas sertifikasi, sahabat saya memandu siswa TK dan sekolah dasar belajar berenang di muara. Di saat guru formal sekolah menikmati liburan bersama siswa di tempat rekreasi, sahabat saya mengajak anak-anak dusun menanam pohon sengon di sepanjang jalan dusun.

Akan sangat panjang apabila paradoksal sikap mendidik sahabat saya dan guru-guru formal sekolah saya tulis di sini. Dan sahabat saya memang senyata-nyatanya gagal menjadi guru PNS. “Saya dan kawan-kawan pengabdi di sini,” cetus sahabat saya, “Memang tidak memiliki penghasilan tetap. Namun, kami tetap memiliki penghasilan. Kami tidak memiliki gaji tetap tapi tetap memiliki gaji.”

Bagaimana bisa? Teman saya dan para sahabatnya sesama pengabdi, pemuda-pemudi dusun yang peduli dengan masa depan anak-anak, adalah pekerja keras. Mereka tidak mengandalkan bantuan profesi dari pemerintah. Mereka bukan guru PNS dan mereka pasti akan gagal menjadi PNS karena ijazah mereka yang rata SMA sama sekali tidak memenuhi syarat formal diterima sebagai guru PNS.

Mereka bukan birokrat. Mereka adalah pekerja keras. Pejuang hidup. Mandiri memenuhi kebutuhan keluarganya dengan ngarit untuk pakan sapi. Menjadi petani. Berternak lele. Berkebun pisang. Dan di sela-sela kerja keras itu mereka mendidik anak-anak dusun.

Sementara banyak guru yang sudah menjadi 'guru’ di sekolah formal dengan gaji lumayan besar masih mengeluhkan lambatnya pencairan tunjangan profesi. Saya tidak menyalahkan sertifikasi. Namun, apakah selamanya kita akan terus mengeluh di tengah keberlimpahan ini? Padahal teman saya dan sahabat-sahabatnya lebih pantas untuk 'mengeluh'.

Namun, hal itu tidak sempat mereka lakukan karena emosi, pikiran, tenaga, dan waktu mereka tercurah untuk mendidik anak-anak dusun dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tidak ada keluhan. Hanya ada tetesan keringat yang bercahaya. []

Jagalan 060516

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun