Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bukan Sekedar Makan Siang

5 Mei 2016   21:40 Diperbarui: 5 Mei 2016   22:33 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Makan Bersama - sdntanahkalikedinding2.blogspot.com

Jaman saya aktif mengajar di sekolah dasar swasta, kegiatan pembelajaran yang saya tunggu adalah makan siang bersama siswa. Bukan karena saya dapat fasilitas makan siang gratis. Makan siang bersama adalah momentum istimiewa bagi saya. 

Di setiap meja tersedia nasi, sayur, dan lauk untuk enam siswa. Sebelum makan siswa membaca doa. Masing-masing siswa mengambil nasi, sayur, dan lauk pauk. Mereka rela berbagi makanan.

Ada siswa yang mengambil nasi terlalu banyak. Ia kekenyangan. Nasi tidak dihabiskan. Dalam keseharian di rumah nasi tidak habis karena kenyang menjadi pemandangan yang jamak. Padahal takaran nasi di piring adalah sikap awal untuk menanamkan sikap kepemimpinan pada siswa.

Apa relevansi takaran nasi di piring dengan sikap kepemimpinan? Sebenarnya hal ini otak-atik-gatuk, salah satu kepiawaian budaya jawa menanamkan kesadaran universal. Dari sepiring nasi mengantarkan kita ke dalam tema kepemimpinan.

“Ambillah nasi sesuai ukuran perutmu!” demikian nasehat yang pernah saya terima dari Simbah. “Jangan kamu penuhi perutmu dengan makanan. Kalau kamu gagal mengukur isi perutmu, bagaimana kamu akan mampu mengukur isi perut orang lain?”

Simbah benar. Volume perut kita memiliki batas maksimal. Lambung kita juga bukan kantong karet yang bisa mengembang tanpa batas. Secara biologis batas maksimal isi perut ditandai oleh kenyang. Tujuan makan bukan semata mencapai kenyang. Salah satu rahasia kesehatan yang masyhur adalah berhentilah makan sebelum kenyang.

Justru yang tidak terbatas adalah nafsu makan. Selera makan. Nafsu dan selera makan bekerja sama dengan lidah, perangkat biologis sekaligus berperan sebagai “organ batin”, merupakan pintu masuk bagi sikap tanpa batas masuknya makanan ke dalam perut.

Seorang pemimpin akan sangat peka dan sigap mengendalikan nafsu dan selera makan. Ia memimpin lidahnya untuk pada akhirnya mengkonsumsi makanan terutama tidak untuk mengenyangkan dan memenuhi perutnya. Aktivitas makan bukan semata ritual kuliner.

Pemimpin yang menyadari kapasitas dan daya tampung perutnya sendiri. Ia menindas dorongan serakah yang menjelma ke dalam nafsu dan selera makan. Ia paham dan memahami kapasitas dan daya tampung. Dalam hal ini kembali saya teringat pesan Simbah, “Kalau kamu memahami daya tampung perutmu, kamu akan memahami daya tampung perut orang lain.”

Pesan Simbah menjelaskan relevansi antara takaran nasi di piring dengan sikap kepemimpinan. Lebih tegas lagi, sebelum memimpin orang lain kamu harus memimpin diri sendiri. “Kendalikan nafsu dan selera makanmu. Silahkan kamu berhadapan dengan beragam-ragam makanan. Kamulah pemimpinnya. Makanan itu anak buahmu. Ambil seperlunya. Makan secukupnya.” Yang terakhir ini kalimat saya sendiri, seraya membayangkan nasehat Simbah.

Maka, saya pikir makan siang bersama siswa di sekolah bukan sekedar makan siang. Saya, seolah-olah menjadi Simbah, menanam bibit sikap kepimimpinan melalui aktivitas makan bersama.

“Jangan sampai ada upo yang tertinggal di atas piring,” kata saya kepada siswa.

Upo itu apa, Pak?”

Saya tersenyum. “Upo itu satu atau dua butir nasi yang tertinggal di atas piring. Makanannya dihabiskan biar ayam kamu tidak mati.”

“Saya tidak punya ayam, Pak.”

Kenapa hanya satu dua upo bisa mematikan ayam? Tentu saja itu adalah sanepan. Apabila kita sembrono dan meremehkan satu dua upo tertinggal, kita akan tidak segan lagi menyisakan makanan dalam jumlah banyak. Kesalahan kecil yang tidak segera diperbaiki akan mendorong seseorang berani melakukan kesalahan besar. Awalnya mencuri “kecil-kecilan”. Lama-lama menjadi koruptor dan pencuri kelas kakap.

Ayam mati merupakan simbol dari akibat kesalahan yang kelihatannya remeh dan ringan. Berat atau ringan dosa dan kesalahan toh ia tetap menjadi dosa dan kesalahan. Dampaknya akan tidak seringan yang kita perkirakan.

Dari aktivitas makan siang bersama siswa, kita mengajarkan sekaligus menanamkan benih-benih kepemimpinan. Sekolah yang memiliki aktivitas makan siang bersama siswa tentu tidak melewatkan ritual berharga ini. Makan siang tidak kalah penting dengan pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris. Makan siang, sungguh, bukan sekedar makan siang. []

Jagalan 050516

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun