Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Membongkar "Pagar Monopoli" Sekolah

3 Mei 2016   13:05 Diperbarui: 3 Mei 2016   16:38 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi: Jaringan Pendidikan (sumber: jaringanpelajaraceh.com/wp-content/uploads/2014/08/butet.jpg)

“Secara konstitusional, mendidik adalah tanggung jawab negara namun secara moral mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik.” – Anies R. Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Seprihatin-prihatinnya hati saya menatap realitas pendidikan nasonal, terdapat secercah sikap optimis. Seamburadul-amburadulnya konsepsi pendidikan, saya tetap berkeyakinan bahwa Indonesia sedang merintis kebangkitannya sendiri: kebangkitan yang dimulai dari pendidikan. Betapapun tidak jujurnya pelaksanaan Ujian Nasional diselenggarakan, saya tetap memelihara sikap husnudhon bahwa pembusukan-pembusukan ini merupakan momentum waktu menjelang fajar pagi tiba.

Mengapa terjadi pembusukan-pembusukan? Karena kita selalu mengulang-ulang kebijakan yang sama meskipun wadah dan nuansa regulasinya berbeda. Dari tahapan pembusukan ini sikap optimis terhadap masa depan pendidikan nasional saya sandarkan.

Pendidikan kita belum beranjak dari proses belajar yang distandarkan. Ekspektasi hasil belajar yang harus dicapai siswa selalu dijadikan alat ukur kualitas pendidikan. Bukan hanya itu. Kinerja guru pun distandarisasi.

Guru yang menderita adalah mereka yang melakukan inovasi dan menawarkan ide-ide segar pembelajaran. Kok menderita? Mekanisme pengawasan dan pengukuran kinerja berbasis kekuasaan struktural – seperti yang dilakukan para pengawas sekolah – kerap menghasilkan perbedaan cara pandang konseptual. Debat dan dialog tiba-tiba buntu. Nuansa komunikasi berbalut psikologi kekuasaan yang menghakimi dan menjustifikasi menutup pintu debat dan dialog.

Guru yang pada awalnya terbakar semangat inovasinya layu begitu saja. Komando dan kontrol yang ketat menggantikan kebersamaan dan mengubur gelora kreativitas. Daripada bentrok dengan pengawas pendidikan, mengapa repot merancang pembelajaran yang inovatif? Standarisasi yang kaku dan berlebihan menjadi musuh utama kreativitas.

Apakah dengan standarisasi yang kaku dan berlebihan dari pengawas sekolah akan benar-benar mematikan kreativitas guru? Tidak. Guru-guru yang kreatif-inovatif sedang hadir dan akan terus lahir dari rahim standarisasi adiminstratif yang sempit dan kaku. Sebagian yang lain akan tumbang. Tapi tidak dengan guru terpilih. Mereka enggan berkompromi dengan kakunya standarisasi.  

Apakah gaji berbasis prestasi dan akuntabilitas kerja profesional akan menjerumuskan guru ke dalam sikap transaksional yang puas dihargai dengan uang? Tidak. Pergilah ke pelosok-pelosok dusun sunyi, di tepi pantai, di lereng perbukitan, di pojokan ruang semesta negeri Nusantara, yang tak pernah kita bayangkan bagaimana menjangkau lokasinya – putra-putri pendidikan Ki Hadjar Dewantara madeb-manteb mendidik anak-anak bangsa. Mendidik bukan sekedar passion. Mendidik adalah panggilan jiwa.

Sebuah pandangan yang menyesatkan apabila untuk menjadi insan terdidik seseorang hanya memerlukan sekolah. Pendidikan jangan selalu diidentikkan dengan sekolah. Pendidikan bukan monopoli sekolah. Sekolah jangan memasang pagar tinggi – di luar pagar itu bukan pendidikan.

Ada “gerak” pendidikan di dalam sekolah memang sudah semestinya. Meskipun di dalam sekolah terdapat kemungkinan “gerak” yang bukan pendidikan. Antara substansi dan wadah musti jelas “maqam” dan posisinya. Sekolah adalah ilustrasi praktek pendidikan. Sedangkan substansi pendidikan jangan direbut dan dimonopoli institusi sekolah.

Pemahaman yang menyamakan pendidikan dengan sekolah belum terurai. Jumbuh. Anak-anak kita memang tersekolahkan, namun hadir pertanyaan kritis: apakah mereka makin terdidik? Jika demikian, apa beda antara Wajib Belajar dengan Wajib Sekolah? Membicarakan pendidikan selalu direduksi membahas persekolahan.

Dan lagi-lagi saya tetap memelihara sikap optimis. Tema Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2016 adalah Pendidikan sebagai Gerakan Pencerdasan dan Penumbuhan Generasi Berkarakter Pancasila. “Kata kunci dari tema tersebut adalah “Gerakan”,” ungkap Anies R. Baswedan. “Pendidikan harus dipandang sebagai ikhtiar kolektif seluruh bangsa. Karena itu pendidikan tidak bisa dipandang sebagai sebuah program semata. Kita harus mengajak semua elemen masyarakat untuk terlibat.”

Gerakan pendidikan yang dicanangkan itu mengingatkan kita pada Tri Pusat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara: masyarakat, keluarga, perguruan (persekolahan). Tiba saatnya sekolah mengakhiri monopoli pendidikan. Keluarga sebagai pusat pendidikan informal diakomodasi. Para birokrat pendidikan jangan lagi bersikap diskriminatif terhadap pendidikan berbasis komunitas yang diselenggarakan masyarakat.

Gerakan pendidikan ini akan melahirkan generasi yang bukan hanya terpelajar melainkan generasi yang terdidik dan tercerahkan. Saya kok optimis. Anda? []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun