Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ki Hadjar Dewantara di Tengah Kepungan Agenda Reformasi Pendidikan Global

2 Mei 2016   13:23 Diperbarui: 2 Mei 2016   13:48 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi: Pesan Ki Hadjar Dewantara (https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10209228270613951&set=a.4888436138874.188335.1536815060&type=3&theater)

Pada tulisan sebelumnya, Mencermati Gerakan Reformasi Pendidikan Global, saya mengutip pesan Ki Hadjar Dewantara untuk bahan renungan kita bersama. “Jangan menyeragamkan hal-hal yang tidak perlu atau tidak bisa diseragamkan. Perbedaan bakat dan keadaan hidup anak dan masyarakat yang satu dengan yang lain harus menjadi perhatian dan diakomodasi.” (Pusara, Januari 1940)

Saya mohon maaf atas kelancangan mengajak kita semua merenung-renung soal pendidikan. Toh pendidikan kita berjalan adem ayem. Apa lagi yang perlu direnungkan? Dinamika perdebatan, situasi pro dan kontra, sikap kritis para pakar seakan memasuki ruang senyap. Gema dan pantulan suaranya ditelan udara.

Apa kabar implementasi Kurikulum 2013? Apa benar Pendidikan Indonesia sedang gawat darurat? Bagaimana dengan peringkat ke-49 dari 50 negara pada pemetaan mutu pendidikan tinggi tahun 2013? Sertifikasi guru, bagaimana kabarmu? Kita sedang dikepung agenda gerakan reformasi pendidikan global ataukah sedang bergulat menemukan jati diri pendidikan bangsa?

Di tengah kekuatan globalisasi, menganalisa perkembangan kebijakan global dan reformasi pendidikan telah menjadi pijakan regulasi kementerian pendidikan. Nilai dasar, fungsi, struktur pendidikan global lahir sebagai kekuatan baru. Interaksi global seakan “mewajibkan” setiap negara mengikuti pola agenda reformasi pendidikan.

Indikasinya tampak jelas. Nilai dasar, fungsi, struktur pendidikan di setiap negara nyaris sama. Indikator-indikator terhadap keberhasilan pendidikan dan kebijakan-kebijakan yang ditempuh mendorong setiap negara mengambil pendekatan yang sama.

Sebut saja Tiongkok, misalnya. Reformasi Evaluasi Hijau dan 10 Aturan Mengurangi Beban Akademik merupakan panduan dalam mereformasi model penilaian mutu pendidikan. Keberhasilan Reformasi pendidikan Finlandia menyita perhatian dunia. Finlandia seakan menjebol pintu kerumitan bagaimana seharusnya reformasi pendidikan dijalankan. Mereka berhasil menemukan “penggerak yang benar”.

Di tengah agenda gerakan reformasi global penting kiranya menjadi konsumen yang kritis. Identitas dan jati diri bangsa jangan digerus oleh interaksi pendidikan global yang mengandalkan sejumlah asumsi tertentu. Memperbaiki sistem pendidikan nasional tidak dengan cara membangun asumsi yang mengubur kearifan universal bangsa sendiri.

Ya. Kearifan universal pendidikan bangsa Indonesia. Muncul pertanyaan, sudahkah kita mengenal bahkan menghayati dan mengimplementasikan kearifan universal suku, budaya, bangsa sebagai penggerak untuk mereformasi pendidikan? Mengapa pohon pendidikan kita tidak atau belum disemai dari bibit kearifan universal bangsa sendiri? Mengapa gerakan sistem reformasi pendidikan kita cenderung mengambil “buah impor” agenda pendidikan global yang mengandalkan sejumlah asumsi tertentu – dan asumsi itu belum tentu cocok dengan “karakter-tanah” pendidikan kita?

Sekarang, mari kita simak pesan Bapak Pendidikan kita. “Rakyat perlu diberi hak dan kesempatan yang sama untuk mendapat pendidikan berkualitas sesuai kepentingan hidup kebudayaan dan kepentingan hidup kemasyarakatannya.” (Pusara, Januari 1940)

Pesan Ki Hadjar Dewantara disampaikan jauh sebelum munculnya inspirasi agenda reformasi dan kampanye global pada dekade 1980-an. Kampanye global yang dimaksud adalah Pendidikan untuk Semua. Education for All. Artinya, Ki Hadjar Dewantara sudah mewanti-wanti agar pendidikan bukan untuk “beberapa” melainkan untuk “semua”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun