Ilustrasi: Komunikasi dengan Anak | Ilustrasi: mama365.mk
Kesempatan kali ini kita berdiskusi tentang pendidikan dengan tema yang ringan-ringan saja. Ringan bukan berarti sepele. Tema mendasar justru kerap terlewat dari perhatian kita. Tentang komunikasi dengan anak misalnya sehingga saking seringnya kita terlibat di dalamnya kadang menjadi tema yang lumrah.
Kita hampir tidak berjarak dengan pola komunikasi bersama anak. Pola komunikasi rasanya hambar dan lurus-lurus saja. Kita bicara anak harus mendengarkan. Anak bicara kita suntuk menatap layar gadget. Anak tidak merespon pembicaraan, kita naik pitam.
Ini bukan terutama kewajiban anak harus mendengarkan setiap perkataan orangtua. Bukan tentang apa yang disampaikan orangtua harus didengar anak. Bukan pula tentang memaksa anak agar selalu mendengarkan setiap pembicaraan orangtua.
Ini tentang bagaimana kita membuka pintu komunikasi dengan anak. Selama pintu belum terbuka karena tidak ditemukan kuncinya, sulit rasanya menjalin komunikasi yang efektif.
Anak-anak memiliki banyak hal yang dipikirkan. Mereka bukan makhluk kosong pikiran. Di tengah berbagai hal yang menyita perhatian emosi dan pikirannya, kita perlu menemukan cela dan cara agar apa yang kita katakan tidak menjadi angin lalu.
Bagaimana cara merebut perhatian anak? Kita tidak bisa memberi perintah dengan berteriak dari ruang sebelah. Atau menyuruh anak sarapan sementara kita berbicara kepadanya sambil memainkan gadget. Cara yang tidak efektif. Pembicaraan kita ditelan angin.
Letakkan gadget. Berjalanlah mendekati anak. Sejajarkan posisi komunikasi kita dengannya. Bila anak posisinya duduk, kita ikut duduk di sampingnya. Lalu jalinlah koneksi. Menyentuh lengannya dengan lembut, atau bertanya, “Wah lagi asik main apa ini?”, - merupakan cara menjalin koneksi. Kita tunggu beberapa saat sampai anak menoleh dan menatap mata kita. Kemudian berbicaralah padanya dengan santun. “Ayo, kita sarapan dulu.”
Bila ajakan, perintah, pertanyaan belum direspon anak, kita tidak perlu mengulangnya sampai beberapa kali. Selain komunikasinya tidak efektif, hal ini disebabkan kita belum mendapat perhatian dari anak. Kita perlu kembali menempuh langkah di atas. Jalinlah koneksi.
Apabila anak menatap kita, mulailah berbicara secara singkat dan jelas. Ya, kalimat kita harus efektif.
Kalimat efektif memudahkan anak memahami isi pesan. Efektif memilih diksi, efektif merangkai kalimat, efektif menjalin intonasi nada. Memberi perintah atau bertanya pada anak tidak perlu menggunakan kalimat-kalimat panjang. Semakin panjang dan berbelit-belit semakin menurunkan minat anak untuk mendengarkannya.
Singkat dan jelas. Ini keterampilan berkomunikasi yang patut dilatih di tengah kebiasaan kita yang gemar mengulang-ulang perintah. Bila cukup dengan kalimat: "Ayo, kita harus segera berangkat!" tak perlu kita berceramah panjang lebar tentang jalanan yang macet.
Untuk menjalin komunikasi efektif diperlukan kepiawaian memasuki dunia anak dan melihatnya dari sudut pandang mereka. Bagaimana penerapannya? Kita yang sedang sibuk beraktivitas rasanya enggan juga diminta untuk tiba-tiba menghentikannya. Anak pun demikian: mereka memiliki dunia sendiri yang kadang luput dari pertimbangan sikap berpikir orangtua. Terasa riskan ketika tiba-tiba kita memutus paksa.
“Asik ya bermain bongkar pasang. Yuk, sekarang kita madi dulu!” atau kita menggunakan simulasi ajakan yang lain. Prinsipnya, kita melihat dari sudut pandang anak untuk mengempati perasaannya.
Resistensi terhadap perintah menjadi naluri hampir setiap manusia. Tidak ada anak yang suka diperintah. Alih-alih memberi perintah dengan bahasa yang vulgar, kita bisa mencoba dengan teknik yang lebih manusiawi. Ajaklah anak bekerja sama menentukan pilihan. “Waktunya mandi, sayang. Sekarang atau lima menit lagi.” Ketika lima menit sudah lewat, ajaklah anak mandi.
Ini memang tidak mudah. Saya sering terlibat tawar menawar. Anak menawar sepuluh menit. Saya tawar tujuh menit untuk menghentikan permainannya. Deal. Tanpa terasa kita mengempati anak. Kehangatan bercengkerama tetap terjaga.
Karena itu, jangan memberi perintah atau nasehat saat sedang marah. Hal ini sama sekali tidak efisien. Kondisi marah menyebabkan kita sulit mengendalikan pembicaraan. Komunikasi tanpa makna. Anak pun dicekam rasa takut. Ia akan menghindar bahkan menolak perkataan kita.
Tetap tenang. Tarik nafas. Memastikan emosi kita sudah tenang terlebih dahulu, baru kita berbicara pada anak.
Melatih anak terampil mendengarkan diawali dengan memberi teladan bahwa kita adalah pendengar yang baik. Komunikasi yang efektif dijalin dengan prinsip keseimbangan. Kita dan anak menjadi komunikator: saling bersedia menjadi pendengar.
Selamat mencoba. []
Jagalan 010516
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H