ilustrasi: Sistem Pendidikan (https://metodesentra.files.wordpress.com/2014/08/pakistans-education-system.jpg)
Teman saya berseloroh, siswa adalah “buruh” dan sekolah adalah “pabrik”. Kalimat yang muncul sepontan di tengah obrolan itu menarik perhatian saya. Ah, siswa ya siswa. Buruh ya buruh. Masak siswa adalah buruh. Sekolah ya sekolah. Pabrik ya pabrik. Masak sekolah adalah pabrik. Gambaran tentang praktek pendidikan yang berlebihan, demikian pikir saya. Saya tidak ambil pusing.
Namun, kalimat teman saya terus terngiang di telinga. Saya jadi terganggu. Padahal pendidikan kita hingga hari ini baik-baik saja. Kegiatan belajar berjalan lancar dan terstruktur rapi. Mengapa saya terganggung? Atau saya terlalu sensitif dengan praktek pendidikan yang menihilkan harkat martabat manusia? Dehumanisasi pendidikan? Komersialisasi pendidikan?
Baiklah. Bisnis pendidikan memang menggiurkan. Di tahun 1960-an hasil penelitian di Amerika Serikat menyimpulkan investasi dalam dunia pendidikan jauh lebih menguntungkan dibandingkan investasi di bidang saham. Investasi di dunia pendidikan lebih menjanjikan laba finansial. Hingga hari ini pendidikan di Indonesia menjadi ladang investasi yang cukup menggiurkan pengusaha-pendidikan.
Pembukaan fakultas kedokteran oleh perguruan tinggi negeri dan swasta – 75 fakultas kedokteran terlalu banyak karena idealnya hanya perlu 30 – 35 fakultas kedokteran – sangat mudah terbaca motifnya. Hanya mencari uang.
Kapitalisme mencengkeram urat nadi pendidikan. Tidak heran apabila pendidikan dipandang sebagai sebuah proses produksi. Pabriknya bernama sekolah. Teori educational production process adalah pondasi untuk membangun kerajaan bisnis yang malih rupa menjadi sekolah.
Pabriknya bernama sekolah. Siswa dipandang sebagai masukan kasar (raw input). Guru, kurikulum, buku, dan software lainnya menjadi instrumental input. Kondisi lingkungan, sosial, politik, budaya, agama diperlakukan sebagai environmental input. Masukan kasar diproses di dalam pabrik (sekolah) dengan keterlibtan instrumental input dan environmental input menghasilkan lulusan (output) dan hasil yang diserap pasar (outcomes).
Bagus bukan? Proses pendidikan yang cukup handal untuk mencetak output dan outcomes. Tapi mengapa kualitas pendidikan terasa berjalan di tempat? Nah, kualitas sebelah mana yang dipersoalkan. Kalau kualitas hasil pendidikan semata diukur dengan nilai akhir ujian, tidak ada sekolah di negeri ini yang tidak berlomba-lomba meluluskan siswanya. Tingkat kelulusannya rata-rata hampir seratus persen.
Faktanya, pendidikan kita masih berkutat pada berapa nilai akhir, lulus ataukah tidak lulus, naik kelas ataukah tinggal kelas, ranking satu ataukah ranking duapuluh. Output dan outcomes (outcome-based) diraih dengan berbagai cara dan bahkan mengabaikan muatan nilai kejujuran.
Agenda pendidikan bergeser ke arah penyelarasan sekolah dan sistem pendidikan ke ruang logika operasi korporasi swasta. Logika utama sistem dan manajemen pendidikan menerapkan prinsip-prinsip dari dunia korporasi. Sebuah perusahan harus menghasilkan keuntungan. perusahan bernama sekolah menargetkan dua keuntungan: keuntungan meraih status (lebih) unggul dari sekolah lain dan keuntungan ekonomis.
Logika korporasi yang menjadi prinsip implementasi dalam manajemen pendidikan mendorong sekolah melakukan pengawasan yang ketat terhadap standarisasi nilai siswa (KKM), kinerja guru, dan pencapaian kelulusan akhir. Kinerja sekolah diikat oleh proses akreditasi. Guru digaji menurut prestasi dan kinerja. Reward dan punishment dijalankan untuk membentuk perilaku siswa.