Ilustrasi: Petani
Setelah mengajak anak-anak sekolah dasar di kampungnya blusukan ke pasar, setelah mengenalkan mereka dengan substansi literasi, setelah melibatkan mereka menyusun proyek kecil-kecilan untuk menemukan solusi bagi lingkungan, kini, Siman merancang acara yang diberi judul Silaturahim Dongeng.
Acara apa itu? Menyambung paseduluran, persaudaraan, perkerabatan dengan orang-orang tua, para sesepuh di kampung. Siman bersama anak-anak akan mendatangi Mbah Dulamat, Mbah Atem, Mbah Ngatemi untuk silaturahim dan belajar dari para orangtua lanjut usia tentang masa lalu.
Atas inisiatif yang sangat mudah disalahpahami ini Siman menyiapkan setumpuk jawaban dan argumentasi. Bukan untuk menjawab para pakar atau yang terhormat kaum guru, melainkan untuk menampung pertanyaan anak-anak yang mulai kritis cara berpikirnya.
“Mbah Dulamat? Mbah Atem?” tanya mereka seraya terbahak-bahak.
“Ngapain kita mengunjungi orang-orang itu?”
“Belajar,” jawab Siman, singkat.
“Mesti Cak Siman ini. Suka aneh-aneh.”
“Apa nama kampung kita ini?” tanya Siman.
“Semampir.”
“Mengapa dinamakan kampung Semampir? Ada yang tahu sejarahnya? Bagaimana riwayatnya sehingga dinamakan Semampir? Sungai di sebelah barat kampung kita apa tiba-tiba ada airnya begitu saja? Dulu, air di sungai apa sudah tercemar dan menjadi got besar seperti sekarang?”