Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

(Mripat 03) Humanism Model Orang Kampung

17 April 2016   12:56 Diperbarui: 17 April 2016   13:10 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cak Siman membuktikan kata-katanya. Ia mengajak anak-anak bergembira. Menyanyi. Bertepuk tangan. Simulasi permainan sederhana yang mengandalkan kerja sama, kekompakan, kepedulian, sikap saling menghargai, dimainkan dalam suasana gembira ceria.

Anak-anak larut dalam kegembiraan berekspresi. Cak Siman menantang setiap anak berani menyampaikan pendapat. Awalnya memang alot. Mereka tampak malu-malu. Gugup dan ragu-ragu. Tapi lumayan, sudah berani menyampaikan dua tiga kalimat lalu mandeg.

Tidak apa. Memulai keterampilan baru memerlukan perjuangan dan kesabaran. Cak Siman membesarkan hati mereka. Diskusi ringan digelindingkan untuk memantik logika berpikir.

“Siapa pernah memakai sandal di kepala?” Cak Siman melontarkan pertanyaan. Anak-anak menyambutnya dengan celoteh bersautan.

“Tidak ada, Cak.”

“Mosok sandal dipakai di kepala.”

“Ada, Cak. Orang gila.”

“Sandal dipakai di kaki. Bukan di kepala.”

Cak Siman tersenyum menyimak jawaban bersautan.

“Mengapa sandal tidak dipakai di kepala?” Cak Siman melanjutkan pertanyaannya.

Sampeyan ini bagaimana, Cak? Dimana-mana sandal dipasang di kaki. Di kepala orang memasang topi atau kopyah.”

Wah lumayan cerdas jawaban Zildan.

“Mengapa tidak dibalik? Sandal dipasang di kepala. Topi ditalikan di kaki?”

Gendheng itu!” sahut Rere.

Anak-anak tertawa. Lepas.

Tita, yang dari tadi diam sambil tersenyum-senyum, mengangkat tangan. “Bukan tempatnya. Sandal tempatnya di kaki. Topi di kepala.”

“Nah itu. Bukan tempatnya,” spontan Cak Siman menimpali. “Sekarang, silahkan pegang kedua mata kalian. Telinga. Hidung. Apakah kedua mata kita berada di tempatnya?”

“Iyaaaaa,” serempak mereka menjawab.

“Sandal dipasang di kaki. Topi dipakai di kepala. Mata, hidung, telinga, tangan semua berada di tempatnya masing-masing. Jadi apa kesimpulannya?”

Anak-anak mulai umek. Gremeng-gremeng. Belum ada jawaban.

Tika mengangkat tangan. “Kita memakai sesuatu sesuai tempatnya.”

“Yesss.” Cak Siman mengancungkan jempol kepada Tika. “Ayo apa lagi kesimpulannya?” tantang Cak Siman.

“Hemmm, apa saja berada di tempatnya masing-masing.”

“Kita harus tahu kita sedang berada di mana.”

Jawaban yang tepat dari Rosita. Suasana bertambah gayeng. Sorot mata anak-anak berbinar. Ada cahaya memancar.

***

Cak Siman tidak pernah belajar parenting style. Positive parenting. Entah istilah apa lagi yang berkaitan dengan edukasi dan ilmu mendidik. Agaknya apa yang dia kerjakan berbasis naluri – naluri kepeduliaan. Naluri merasa kasihan pada anak-anak. Naluri untuk merengkuh mereka dengan bekal cinta dan kasih sayang.

Meskipun tidak pernah mengenal parenting style, gaya pendekatan Cak Siman cenderung bersifat humanis. Humanism model orang kampung. Dia memancing, mengajak, menantang anak-anak untuk menggali dan menemukan kesadaran dari dalam diri mereka sendiri.

Cak Siman bertugas sebagai tukang pancing. Anak-anak memiliki potensi. Cak Siman membantu mereka menemukan potensi itu meski hanya secuil dan terlihat remeh. Namun, bagi ikhtiar memanusiakan anak, adakah upaya penyadaran terkesan remeh dan patut diremehkan?

Goal of humanism adalah mendukung dan mendorong anak untuk berkembang secara alami sesuai potensi yang dimilikinya. Pendidikan merupakan upaya dari dalam untuk menggali, menumbuhkan, mengembangkan, memaksimalkan “permata” dalam diri mereka. Setiap permata bersifat unik. Ketika berkumpul duapuluh lima anak dalam satu ruangan, sedikitnya berkumpul pula dua puluh lima keunikan. Mozaik yang teramat indah untuk dipangkas dan distandarisasi.

Pendidikan beserta semua perangkat pendukungnya perlu berendah hati di depan siswa dan anak. Berendah hati sebagai sesama manusia, sesama hamba Tuhan, yang dibekali keunggulan dan kelemahan. Regulasi, kurikulum, silabus, hard skills, soft skills, metode belajar hingga pengembangan lingkungan pendidikan dikembangkan dalam satu premis yang sama: setiap anak unik dan memiliki keunikannya masing-masing.

Keunikan anak bukan hasil pesanan orangtua. Ia adalah anugerah kemurahan Tuhan bagi manusia untuk membangun peradaban yang berkasih sayang. []

Achmad Saifullah Syahid

image

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun