Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Orangtua Sangat Mudah Melihat Kekurangan Anak?

9 Februari 2016   00:31 Diperbarui: 9 Februari 2016   00:58 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore yang basah oleh hujan lebat.

Seorang ibu dengan nada amat ketus memberondong putrinya dengan kalimat mematikan. Sang putri, kira-kira kelas empat Sekolah Dasar, tertunduk diam.

“Apa mama bilang! Kamu bisanya main game, buka internet, browsing-browsing. Mengerjakan soal komputer seperti ini kamu tidak bisa. Menjelaskan apa enter, shift, del jawaban kamu salah semua. Percuma mama membeli laptop.”

Sang anak ingin sekali menangis tapi tidak berani. Nampaknya urusan akan menjadi panjang kalau ia meledakkan tangisnya. Ditahannya tangis sampai tenggorokannya tercekat. Air matanya meleleh juga. Sang ibu menyeretnya masuk ke dalam mobil. Sesaat kemudian mobil menembus hujan yang lebat, selebat tangis sang putri yang entah kapan akan ditumpahkannya.

Saya menyaksikan adegan itu secara tidak sengaja. Tercenung cukup lama seraya bertanya, “Mengapa saya dipertemukan dengan adegan yang miris dan mengiris hati?” Atau hati saya teramat cengeng, sok tidak tega dengan segala bentuk penindasan. Mengapa orangtua sangat mudah melihat kekurangan anak? Demikian benak saya bertanya keras, memuncaki pertanyaan yang bergulung-gulung.

Ini semua tentu bukan soal orangtua yang tidak terdidik. Bukan soal orangtua yang buta tentang informasi. Artikel parenting banyak tersebar di media. Gadget memudahkan orangtua mengakses resep masakan sampai jual beli online. Lantas, mengapa tragedi kekejaman dengan modus demi masa depan anak masih saja terjadi?

Tulisan ini bukan hendak mengadili para orangtua, mengingat tidak sedikit dari mereka sedang mendidik dirinya menjadi orangtua yang memanusiakan anak. Menginstropeksi diri dan merasa perlu belajar kembali untuk memperkuat kuda-kuda parenting tidak boleh kita abaikan. Melihat kembali cara berpikir pada masa perjalanan tertentu sebagai orangtua bukanlah hal yang tabu.

Orangtua perlu menyadari bahwa dirinya kadang terjebak oleh pertanyaan: “Bagaimana mengatasi anak yang malas belajar? Bagaimana menaklukkan anak yang suka memukul temannya? Bagaimana mengubah perilaku suka berbohong? Bagaimana mengasah kemampuan akademik agar anak meraih rangking satu di kelasnya? Pertanyaan yang diakhiri oleh keluhan sifat atau perilaku negatif anaknya.

Mengapa pertanyaan di atas kerap muncul mengusik kejernihan sikap berpikir? Di tengah penetrasi arus informasi yang didominasi berita-berita negatif, hoax, dan aura kapitalisme media, orangtua menjadi obyek yang terpapar oleh radiasi cara berpikir yang tidak selalu memihak pada anak. Tayangan televisi yang mengesampingkan nilai-nilai keadaban merupakan salah satu fakta yang menggiring orangtua menuju bibir jurang kecemasan-kecemasan. Cemas dan panik. Inilah situasi psikologis orangtua masa kini.

Kecemasan dan kepanikan ini akhirnya menuntut para orangtua berpikir instant: solusi jalan pintas selalu menggoda siapa saja yang terlilit masalah. Juga dalam menangani persoalan anak, orangtua lantas dikondisikan cara berpikirnya oleh situasi kepanikan psikologis dirinya sendiri -- tidak mempertimbangkan bagaimana situasi psikologi anak.  Para orangtua sesungguhnya sedang mencemaskan dirinya bukan mencemaskan anaknya. Orangtua yang sangat mudah melihat kekurangan anak pada dasarnya sedang merefleksikan kekurangan dirinya.

Orangtua yang ditindas oleh kecemasan dan kepanikan akan ganti menindas anak. Sayangnya situasi ini jarang disadari. Bentuk penjajahannya bisa sangat beragam mulai takaran paling wadag sampai paling lembut. Kejadian di atas, seorang ibu menghabisi putrinya yang gagal menjawab teori pelajaran komputer adalah penjajahan yang terang-terangan. Sedangkan sikap orangtua (atau guru) yang merasa dirinya benar merupakan penjajahan terselubung, yang defisit masa depannya bagi anak tak kalah merugikan. Kalimat yang digunakan orangtua akan mencerminkan bentuk penindasan pada anak. Bentuk kalimat atau nuansanya akan selalu bernada negatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun