[caption caption="Dokumentasi: novehasanah.blogspot.co.id"][/caption] Berawal dari diskusi ringan tentang sikap belajar di sekolah, di mana hampir sebagian besar siswa diperlakukan layaknya gelas, diam-diam saya memendam keprihatinan yang sama. Siswa menengadah seraya menunggu kucuran ilmu dari guru. Pasrah dan pasif, demikian  sikap belajar siswa kerap ditemui. Entah ini fenomena yang jamak terjadi atau kecemasan satu dua orang guru saja termasuk saya. Sementara itu pengalaman saya berinteraksi dengan siswa menunjukkan hal yang sama.
Ada mental block yang menghalangi gairah belajar. Indikasinya cukup gamblang: suasana kelas tegang dan kaku, dialog guru-siswa berjalan linier, siswa takut berpendapat, dan berbagai kemandekan komunikasi lainnya. Meskipun guru menerapkan metode belajar yang bervariasi, agaknya ketertarikan dan keterlibatan siswa mengikuti proses pembelajaran bergerak di permukaan. Mereka terkurung di dalam situasi keterpaksaan. Andai boleh memilih, jam kosong atau kegiatan bersantai jelas pilihan yang tidak akan dilewatkan.
Saya tidak mendramatisir. Saya buka pintu dialog dengan siswa sekolah dasar. Saya pancing mereka agar menyampaikan pendapat tentang kejadian sehari-hari, seperti mengapa kampung kita sering banjir? Mereka menjawab dengan terbata-bata, dua tiga kata terpotong-potong, seperti menjawab soal pertanyaan di kertas ujian. Mereka ingin sekali berpendapat, ingin sekali menyampaikan deretan pikiran di kepala, ingin sekali mengeluarkan uneg-uneg rasa hati mereka. Ingin sekali, begitu kuat dorongan itu – dan tersumbat. Sesungguhnya, apa yang sedang berkecamuk di ruang-dalam diri mereka. Alangkah menyiksa.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Bukankah belajar adalah proses yang menantang dan menggairahkan. Sedemikian burukkah bangunan motivasi belajar siswa? Mengapa suasana belajar menjelma siksa dan ancaman. Ataukah ada akumulasi pengalaman tidak menyenangkan sehingga proses belajar ditanggapi dengan sikap cemas, dingin dan takut.
Di tengah badai kecamuk perasaan dan pikiran yang melanda siswa, saya mengajak mereka menatap diri sendiri, mengenalinya kembali mulai dari personalitas diri yang paling gamblang dan gampang, lalu perlahan menyelami kecenderungan situasi perasaan dan pikiran. Bagi mereka ini bukan ajakan yang mudah untuk dikerjakan sebab sekolah tempat mereka belajar hanya mengajarkan pengetahuan dengan memposisikan mereka sebagai gelas kosong yang siap diisi. Pelajaran mengenal diri diberikan secara temporal dengan porsi yang amat kurang. Akibatnya, siswa terbiasa menerima external motivation. Mereka tidak terlatih menumbuhkan internal motivation.
Motivasi eksternal yang sering digunakan guru adalah pemberian reward dan punishment. Terlepas dari pro-kontra penggunaan reward dan punishment dalam proses belajar, nyatanya hal itu cukup ampuh memotivasi siswa. Pemberian bintang bagi siswa berprestasi atau berperilaku terpuji dalam satu lingkungan kelas memang cukup mujarab membentuk perilaku belajar yang positif. Namun, sekuat apa daya tahan motivasi eksternal itu bekerja apalagi perilaku positif yang berhasil ditumbuhkan dengan iming-iming reward dan punishment tidak bisa bertahan lama. Siswa akan makin terbiasa menanti ganjaran atau hadiah seraya menimbang sekuat apa hukumannya. Apabila hukuman dirasa ringan tak segan mereka melanggarnya.
Kita tentu sepakat bahwa pribadi yang labil bukan idaman orangtua manapun. Pohon yang tumbuh rindang pasti memiliki akar yang kuat menghujam ke bumi. Demikian pula memantik gairah belajar siswa atau membiasakan perilaku beradab seyogyanya dimulai dari akar yang tumbuh di dalam diri. Kepiawaian guru dan orangtua merawat fitrah gairah belajar anak akan membuahkan perilaku beradab yang tak lekang dimakan jaman. Menciptakan susana yang aman, bebas dari tekanan negatif dan cacian, baik di rumah atau di kelas sehingga anak leluasa mengekspresikan gagasan dan pendapatnya, seraya menciptakan tantangan sesuai minat dan usianya, merupakan langkah untuk membangkitkan motivasi internal.
Suasana yang aman beserta tantangan yang sebanding dengan minat dan usianya akan menumbuhkan positive feeling. Ketika suasana hati yang positif dalam diri anak terbentuk kita semai bibit motivasi internal untuk membangkitkan fitrah belajarnya, yang sesungguhnya sudah tertanam secara laten dalam diri setiap anak. Setidaknya satu tugas merawat fitrah belajar sudah tertunaikan. Semoga.[]
Jagalan 040216
sumber foto:Â disini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H