Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Denotasi, Konotasi, dan Gusti Allah Mboten Sare

30 Januari 2016   01:24 Diperbarui: 30 Januari 2016   01:40 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apakah subyektivisme konotasi yang berlaku dalam teknologi internal itu salah? Bisa ya bisa tidak, bergantung output perilaku yang dihasilkan. Coba kita tengok bagaimana ketangguhan kita menjalani hidup yang serba kepepet. Tiap hari makan tahu atau tempe dikonotasi serasa makan daging. Saat didholimi subyektivisme kita lihai menciptakan konotasi untuk melapangkan dada bahwa Gusti Allah mboten sare, Tuhan tidak tidur. Kemiskinan dikonotasi sebagai ujian Tuhan. Anak yang lambat belajar adalah konotasi bagi anak yang bodoh.

Demikianlah, subyektivisme konotasi bisa memperkuat daya hidup. Tantangan hidup seberat apapun akan terasa ringan oleh kepiawaian kita mengendalikan teknologi internal. Setiap kata, kalimat, perbuatan, jabatan, fungsi sejarah di alam berpikir konotatif tidak menuding pada kenyataan yang sebenarnya. Ia berlindung di balik makna yang hakiki dengan menghadirkan rasa pengertian yang lain. Mengingat tangguhnya sikap hidup rakyat kecil hingga hari ini, sesungguhnya mereka sedang hidup di alam konotasi-konotasi. Filosofi budaya Jawa pada taraf tertentu lahir dari konotasi yang dihasilkan oleh teknologi internal pelakunya.

Semua itu tidak menjadi masalah selama konotasi-konotasi itu membuat kita lebih survive, lebih tangguh, lebih bijaksana, lebih dalam menghayati filosofi hidup. Namun, patut diwaspadai apabila alam berfikir konotatif telah dikhianati oleh egoisme-matarialiasme. Makna denotasi maling digeser secara konotatif menjadi korupsi sehingga terkesan lebih mentereng. Denotasi jihad yang memiliki makna (bekerja) sungguh-sungguh dikonotasi menjadi serangkaian serangan bom bunuh diri.

Ketika korupsi bukan korupsi, jabatan bukan jabatan, sekolah bukan sekolah, agama bukan agama; ketika kata, kalimat, perbuatan, aksi sosial, dakwah, terjebak konotasi-konotasi yang tidak berkenyataan sebagaimana substansinya, itulah saatnya kita menakar akal sehat dan ketulusan hati agar tidak kehilangan makna denotasi. Kemenangan kita adalah ketika yang denotatif tidak kehilangan makna denotasinya; yang konotatif sepenuhnya berada dalam kendali teknologi internal.

Jadi menang-kalah bukan terutama menang atau kalah dari orang lain, tapi kesanggupan menaklukkan diri sendiri. Menang-kalah adalah sebuah paradoks yang kita jalin dalam harmoni denotasi-konotasi untuk memberi nilai manfaat pada orang lain. Memang, pada dasarnya hidup itu bukan kalah menang, tetapi kemanfaatan. []

Jagalan, 300116

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun