Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

[Terorisme] Betapa Sepi dan Mencekam Hidup Anak Kita

19 Januari 2016   22:40 Diperbarui: 20 Januari 2016   16:33 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - anak-anak menonton adegan kekerasan (Shutterstock)

Saat istirahat di sebuah Sekolah Dasar.

“Aku polisi.”

“Aku teroris.”

“Awas ada bom.”

“Blaaar…”

Tiga anak bergulung-gulung di lantai.

“Aduuuh. Aku kena bom.”

“Dor…dor…dor.”

‘Tembak lagi. Dor…!”

"Kamu mati dong. Ini darahnya mengalir dari kepala."

Tercenung saya menyaksikan adegan yang diperankan anak-anak itu. Mereka sedang tidak bermain drama. Anak-anak itu bermain dan memainkan imajinasi mereka di sela waktu istirahat sekolah. Adegan yang dipilih aksi baku tembak polisi melawan teroris. Bermain peran sebenarnya bukan hal aneh bagi dunia anak-anak. Tapi ya itu, mereka ternyata cukup menghayati peran yang dipilihnya secara spontan. Peran sebagai polisi dan teroris.

Atau itu semua hanya kecemasan saya. Tidak ada yang perlu dikawatirkan dengan perilaku dan imajinasi mereka. Toh mereka tetap anak-anak yang manis, rajin, dan patuh. Sebentar lagi usai istirahat mereka akan masuk kelas. Duduk manis menerima pelajaran dari Bapak dan Ibu guru. Otak mereka akan kembali dipakai untuk menghitung soal matematika, menghafalkan nama tari daerah, mengerjakan soal-soal pengetahuan yang jawabannya  sangat mudah ditemukan di Google.

Lantas siapa yang peduli dengan lintasan imajinasi yang tersimpan di memori otak mereka. Lintasan informasi yang tidak utuh tentang adegan terorisme, kabar sampah infotainment, berita seorang koruptor yang ditangkap KPK, gambar atau adegan pornografi yang tiba-tiba saja muncul di layar gadget. Saya membayangkan, otak anak-anak yang masih segar dan  imajinatif, dalam hitungan detik demi detik, berdenyut-denyut mencerna absurditas peristiwa. Di  saat itu juga mereka dibiarkan sendiri menghadapi serangan dan badai informasi tanpa seorang pun peduli dan mau menemani. Betapa sepi dan mencekam hidup mereka.

Siapa yang seharusnya menemani anak-anak itu? Dalam hal ini sekolah bukan pihak yang sepenuhnya bisa diharapkan. Padatnya materi pelajaran, tuntutan menyelesaikan materi ajar dalam satu semester, guru-guru yang sebatas mengajar dan sibuk merampungkan tugas administratif yang bertumpuk bukanlah atmosfir pendidikan yang menemani apalagi menampung badai pikiran anak. Sekolah telah berhasil mensterilkan diri dari perbincangan dan diskusi yang obyektif tentang dinamika hidup. Selama ini sekolah menjadi tempat belajar mata pelajaran, bukan tempat melatih hidup.

Oleh karena itu kita patut mengapresiasi langkah Menteri Pendidikan yang menerbitkan panduan bagi guru, bagaimana bicara pada siswa tentang terorisme. Ada tujuh langkah yang dipaparkan untuk menetralisir dan menjernihkan cara berpikir siswa. Intinya adalah guru mau membuka pintu dialog dengan siswa. Tentu saja dialog yang dilambari oleh sikap berpikir, cara berpikir, sudut pandang, jarak pandang yang tepat dan obyektif.

Lantas kepada siapa anak-anak itu menambatkan hatinya, mencurahkan keluh kesahnya, mengurai kebingungan logika berpikirnya? Ayah dan ibu merupakan sepasang malaikat yang menarik tangan mungil mereka ketika berdiri di bibir jurang kekacauan informasi. Semua fungsi dan peran yang dibutuhkan untuk membimbing dan membekali anak menjalani hidup ada pada kedua orangtuanya. Sebagai guru, motivator, sahabat, pelatih, pembimbing, tauladan, ayah dan ibu pasti bisa memainkan fungsi dan peran itu. Keduanya tinggal mau atau tidak menjalankan fungsi dan peran itu. 

Semua jalinan komunikasi, fungsi dan peran itu bertempat di rumah. Jadikan rumah sebagai tempat kembali setelah anak-anak melanglang dunia informasi, setelah mereka tertatih-tatih mencerna realita, setelah mereka lelah dihantam fakta yang membingungkan. Berharap penuh dan menyerahkan anak secara total pada sekolah, apalagi dengan alasan orangtua sudah bayar mahal, merupakan sikap yang sembrono. Semua lembaga formal di segala tingkatan pasti ada kelemahannya. Sempurnakan kelemahan itu di rumah dengan keterbukaan dialog yang penuh kasih dan sayang. Itulah rumah yang menjadi surga bagi anak-anak. Semoga. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun