Saya tiba di dusun Bajulmati tepat tengah malam. Dusun yang terletak di kecamatan Gedangan Kabupaten Malang berada di ujung pesisir selatan kota Malang. Dengan kendaraan pribadi diperlukan waktu kurang lebih tiga jam perjalanan dari kota Malang. Bukit yang indah dan hamparan pasir putih yang membentang di sepanjang pantai akan memanjakan mata. Belum lagi panorama jembatan Harapan: perpaduan tiga eksotika alam, sungai, bukit, dan pantai yang bikin kita betah berlama-lama di sana.
:: Jembatan "Harapan" Bajulmati
Foto: http://media.halomalang.com/media/2012/Februari/Wisata/Bajul-Mati/Jembatan_Bajul_mati.jpg
Sayang, panorama yang cukup indah itu tidak bisa saya saksikan di malam hari. Tak apa. Sambutan hangat nan ramah dari Bapak Shohibul Izar, tuan rumah dan pengabdi di Bajulmati, membuat mata saya kembali segar berbinar.
Diterima di ruang tamu yang multifungsi saya ngobrol dan dijamu dengan panganan khas desa. Mengapa ruang tamu ini multifungsi? Â Di ruang tamu inilah segala aktivitas pendidikan di dusun Bajulmati digagas dan dijalankan hingga kini. Ruangan sederhana seluas 6 x 4 m menampung rak buku yang terdiri dari berbagai bacaan anak-anak. Di dinding sebelah utara terdapat papan tulis hitam. Di papan tulis itu tertulis kalimat: "Belajar sambil bermain. Bermain sambil belajar tapi tidak main-main."
Dan ruangan yang tidak terlalu luas itu masih harus disesaki oleh tumpukan buku, macam-macam permainan edukasi yang sudah usang, dampar atau meja kecil untuk menulis sambil lesehan di lantai. Para tamu berdiskusi, makan, bahkan kalau ada yang menginap, di ruang tamu itu mereka merebahkan badan. Pagi dan sore hari ruangan tamu berubah fungsi menjadi tempat anak-anak play group belajar dan mengaji.
Tidak Tahu Sekolah Yang Dikembangkan adalah  Sekolah Komunitas
Jadwal kami pagi ini adalah "jalan-jalan" ke lokasi sekolah. Pak Izar, pengabdi di dusun Bajulmati sejak tahun 1989 menjelaskan, sekolah di dusun Bajulmati selalu memakai kata Harapan.
"Kami optimis dan pasti ada harapan bagi anak-anak dusun ini menikmati pendidikan," ujar Pak Izar.
Sekolah yang saya datangi adalah Taman Kanak-Kanak Tunas Harapan di Gua Cina. Jangan dibayangkan seperti TK atau playgroup di kota-kota besar dengan fasilitas pendidikan super lengkap. TK Tunas Harapan menyajikan ironi. Bagaimana tidak? Untuk ukuran fasilitas sebuah playgroup atau taman kanak-kanak, TK Tunas Harapan  minim sekali fasilitas pendidikannya. Berlantai tanah, berdinding bambu, dan aku lihat foto presiden dan wakil presiden dengan bangganya terpasang di dinding bambu itu. Ah, hatiku berdesir.
"Sarana prasarana yang ada di TK ini hasil gotong royong warga. Kepedulian warga menjadikan TK ini berdiri dan melayani siswa hingga hari ini," kata Pak Izar.
"Bagaimana dengan gaji para guru?" tanya saya.
"Para guru menerima gaji jika sekolah memiliki dana lebih. Biasanya kami menjual hasil kebun kami masing-masing untuk membiayai operasional sekolah. Kalau ada kelebihan dana akan kami berikan kepada para guru sebagai gaji."
Hal itu dikuatkan oleh Ibu Suji, salah satu guru dan pengabdi di Bajulmati, yang tiap pagi harus menempuh jarak 25 km dari rumahnya menuju sekolah tanpa jaminan uang bensin. Gaji tidak menentu atau sekedar uang bensin pun jangan terlalu berharap.
"Kalau sekolah punya dana kadang saya diberi uang bensin. Kalau tidak ada sering memakai uang pribadi," ungkap Ibu Suji.
Pak Izar mengatakan, bantuan pendidikan dari pemerintah hampir tidak pernah diterima. Taman Kanak-Kanak Tunas Harapan yang berlokasi di Gua Cina murni hasil kepedulian dan swadaya warga dusun. Kayu yang menopang sekolah adalah sumbangan dan hasil kerja warga yang "ahli" pertukangan. Ranting-ranting kering dibersihkan oleh ibu-ibu yang memerlukannya untuk bahan bakar di dapur. Pak Wagimin yang memiliki banyak pohon kelapa sering menyumbangkan hasil penjualan kelapa untuk biaya operasional sekolah.
:: Anak Bajulmati Cinta Belajar
Konsep sekolah komunitas segera melintas di benak saya. Salah satu misi sekolah komunitas adalah tidak membangun sekolah an-sich, tetapi juga membangun jaringan. Tentu saja jaringan ini dimulai dari warga dusun dan orangtua siswa. Tanpa dukungan warga sekolah komunitas dusun Bajulmati sekolah Tunas Harapan tidak akan pernah berdiri.
Ketika saya menyampaikan bahwa sekolah Tunas Harapan adalah sekolah komunitas, Pak Izar menjawab dengan polos bahwa dirinya sama sekali tidak tahu konsep itu.
"Saya mengerjakan apa yang dapat saya lakukan bersama warga dusun demi anak-anak agar dapat menikmati pendidikan," ungkapnya.
Ia mengatakan, pohon-pohon di sepanjang jalan dusun yang menaman adalah anak-anak. Kanan kiri jalan menjadi teduh. Orang menjadi nyaman saat berjalan. Mereka yang pulang dari berkebun dapat istirahat sejenak di bawah pohon saat terik sedang menyengat.
:: Ketika anak-anak dusun Bajulmati merayakan special-moment usai menanam bakau di sepanjang sungai yang mengalir ke pantai Bajulmati.
"Keberadaan sekolah harus memberikan manfaat nyata bagi lingkungan. Anak-anak tidak cukup dibekali pengetahuan. Mereka harus dipahamkan potensi lingkungan dusunnya. Di Bajulmati segalanya ada. Sungai, pantai, laut, gua bukit menunggu sentuhan karya anak-anak dusun Bajulmati. Hal itu kami mulai dengan menanamkan kesadaran menjaga dan merawat lingkungan. Kalau anak-anak sejak dini  sadar dan tahu apa yang harus dikerjakan untuk mengoptimalkan anugerah Tuhan yang ada di dusunnya, saya pikir mereka tidak akan berburu pekerjaan di kota-kota besar. Pekerjaan besar sedang menunggu masa depan anak-anak di dusun ini," katanya.
Dahsyat, saya teriak dalam hati. Saya kehabisan kata-kata untuk melukiskan the great-idea Pak Izar tentang bagaimana menyikapi persoalan pendidikan yang kini ramai dibicarakan: menyelaraskan dunia pendidikan dan dunia kerja. Di sebuah dusun yang jaringan telpon seluler dan internet sangat sulit dijangkau lahir pemikiran besar yang cukup mendasar.
Otak yang kerap saya jejali wacana dan ide-ide pendidikan segera berkelebat menemukan konsep sekolah berbasis kearifan nilai-nilai lokal. Pak Izar dan warga dusun Bajulmati bukan sekedar membangun sekolah: mereka memberdayakan diri mereka sendiri. Jerih payah ikhtiar pendidikan mereka lakoni demi masa depan anak-anak dusun Bajulmati dengan tetap memelihara kearifan nilai-nilai lokal di dusun mereka.
Di Sekitar Kita Pekerjaan Sudah Melimpah
Kalimat dari Pak Izar yang masih terngiang di telinga saya adalah: "Saya memang tidak memiliki pekerjaan tetap, tetapi saya tetap bisa bekerja. Saya memang tidak memiliki penghasilan tetap, tetapi saya tetap bisa berpenghasilan."
Kalimat Pak Izar itu menginsiprasi saya sesungguhnya tidak boleh ada pengangguran di Indonesia Raya. Ini negeri kaya raya dengan segala potensinya. Seiring dengan itu di sekitar kita pekerjaan sudah tersedia bahkan melimpah. Tapi mengapa melimpahnya kekayaan dan potensi alam justru menghadirkan problem pengangguran? Karena sekolah-sekolah formal telah tercerabut dari akar lingkungannya.
Oleh karena itu, kenalkan sejak dini pada anak-anak potensi lingkungan terdekat di dusun atau desa mereka. Anak-anak tidak boleh tercerabut dari akar lingkungannya. Mereka perlu tahu sejarah budaya terdekat kampung atau dusunnya agar mereka paham siapa diri mereka, apa potensi desanya, dan apa tujuan masa depannya.
Jika anak-anak sejak dini paham sejarah dirinya, paham potensi dusun atau kampung atau kota atau bahkan negaranya, paham cara mengoptimalkannya tanpa meninggalkan budaya kearifan bangsanya demi kemakmuran bersama, paham arah masa depan diri dan bangsanya - saya yakin Indonesia adalah negara pertama di dunia yang terbebas dari problem pengangguran. Semoga. []
Pong Sahidy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H