Pada bulan Oktober 2024 kemarin, ada dua pemuda Jakarta yang menuntut kebebasan beragama ke Mahkamah Konstitusi. Mereka beranggapan bahwa, opsi agama dan kepercayaan di Indonesia mengekang mereka. Mereka diharuskan memilih salah satu agama tersebut atau mereka tidak dilayani oleh fasilitas pemerintahan, seperti pembuatan KTP, pernikahan, dan sebagainya. Untungnya, para Hakim MK menolak permohonannya. Kebebasan beragama yang dimaksud adalah memilih agama dan kepercayaan sesuai yang diyakininya, bukannya tidak beragama atau tidak bertuhan. Rakyat Indonesia diharuskan memiliki Tuhan. untuk urusan Tuhan mana yang mereka pilih, diserahkan kepada pribadi masing-masing (dilansir dari CNN Indonesia).
 Para Hakim MK menggunakan landasan Pancasila sila pertama terkait hal ini. Dalam sila pertama, telah jelas tercantum, "Ketuhanan Yang Maha Esa". Sila ini menjadi dasar kewajiban bertuhan bagi Rakyat Indonesia. Kata "Tuhan" dalam KBBI bermakna sesuatu yang diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia sebagai Yang Maha Kuasa, Maha Perkasa, dan sebagainya. Lantas, mengapa poin Ketuhanan menjadi sila pertama dalam Pancasila?
 Dilansir dari tambahpintar.com, alasan mengapa Ketuhanan menjadi sila pertama Pancasila karena keberadaan Tuhan adalah akar dari segala nilai moral dan etika yang dianut manusia. Tanpa adanya kepercayaan terhadap Tuhan, manusia akan bebas berkehendak sesuai kemauannya yang malah akan membawa dampak buruk bagi sesamanya. Sila pertama ini juga melambangkan keberagaman agama di Indonesia yang justru menjadi kekayaan budaya Indonesia, bukan sebagai perusak persatuan Bangsa.
 Namun, sila pertama yang berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa" sempat mengalami perubahan. Pada rancangan awal, sila pertama berbunyi "Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syari'at Islam bagi Pemeluk-pemeluknya". Rancangan ini terdapat pada Piagam Jakarta. Tetapi, bangsa Indonesia di luar Jawa dan Sumatera, merasa keberatan dengan redaksi yang seperti itu. Mereka merasa disisihkan sebagai minoritas.
 Maka, Bung Hatta, mencoba memperbaiki hal itu. Pada 18 Agustus 1945, Beliau mengumpulkan Ki Bagus Hadikoesoemo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Mr. Teuku Hasan sebelum Rapat Utama PPKI. Rapat Pendahuluan itu menghasilkan redaksi baru untuk sila pertama Pancasila, yaitu "Ketuhanan Yang Maha Esa", yang akhirnya disetujui oleh seluruh anggota PPKI. Redaksi ini lebih dipilih karena bersifat umum dan luas, tidak memihak salah satu agama saja (referensi: detik.com).
 Agama adalah hal penting dalam kenegaraan, terutama di Negara Indonesia. Di Indonesia, setiap warganya diharuskan memiliki agama. Mereka juga diharuskan saling toleransi dan menghargai antar agama. Tercatat, ada beberapa kasus penistaan agama yang pernah terjadi di Indonesia, seperti penghinaan Al-Qur'an, pelecehan terhadap candi, dan sebagainya. Beruntungnya, hampir semua kasus tersebut dapat ditangani secara hukum, memberikan efek jera kepada pelaku dan menjadi contoh agar tidak diulangi oleh orang lain.
 Agama dan negara adalah dua hal yang berkaitan satu sama lain. Keduanya memiliki relevansi yang besar. Tanpa agama, Indonesia tidak akan memiliki pondasi moral dan aturan kenegaraan dan kemasyarakatan. Sedangkan, tanpa adanya negara, agama tidak memiliki wadah untuk menyalurkan ajaran dan ilmu yang dikandungnya. Lantas, mengapa negara-negara sekuler justru mengalami kemajuan? Mengapa negara Indonesia malah mengalami stagnasi? Pertanyaan ini akan dijabarkan pada tulisan berikutnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H