: regina marlina
Pemilik lentera itu meninggalkan jantungnya di pepohon yang ditumbuhi abjad mimpi. Kelak, pada malam yang menguap engkau menemukan puluhan kunang sebagai penghuninya. Atau kawanan merpati di gurun langit, membisikimu tentang guratan silam dan ketika rampung, ketidakwarasan itu akan menyelam lebih dalam di keningmu. Seperti mencari angka-angka di balik kegaiban hatinya. Menyita sajaknya yang hendak ia bangkitkan di lorong-lorong terabaikan. Kau berbicara padaku dengan ciuman cahaya, menyergapku di mana saja lalu segenap hatiku akan menganyam sahutan dari sayap malaikatmu. Hingga hujan tak mampu dijinakkan. Aku adalah risau yang terkurung di pintu keluarnya sendiri. Sedang engkau membukakan pintu keluar yang lain. Seperti mengecap dimensi padat dari doa dan menyeretku ke tepi kursi tamanmu dan imajimu memintaku tidur panjang menuju masa depan. Mungkin kau pun tahu, meniti masa lalu dalam kesemuan yang menggumpal lebih luka ketimbang luka atas kebohongan. Mendekamlah mereka pada bintang jatuh. Melukai aku berulang-ulang. Sebelum denting itu menyepi dan tak melambaikan lengang dari tragedinya sendiri. Dan engkau membawakanku gugusan salju dari balik selimutmu. Menjadi sosok dingin yang tersekat dan membungkam riuhnya kekalahan. Aku pun berbicara padamu dengan drama kebahagiaan yang kucari-cari itu. Bahkan sesudah bertemu denganmu, bilik jantungku yang menganga menampung air matanya sendiri.
[Palembang, 27'03'10]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H