Mohon tunggu...
Achmad Fauzi
Achmad Fauzi Mohon Tunggu... -

penulis amatir, lebih interested ke puisi! :-) Lahir di Bandung, 14 Februari 1983. Alumni Universitas Bina Darma Palembang, jurusan Bahasa dan Sastra Inggris tahun 2005. Anak pertama dari empat bersaudara. Bergiat di Komunitas Bongkar Jiwa (KBJ), sebuah grup penyuka puisi yang beralamat di Facebook. Menulis puisi sejak tahun 2005, vakum sampai tahun 2009. Pada Januari 2009 kembali aktif berpuisi, sekalipun masih amatiran. Sekarang tinggal di Palembang Kota. Hobi menggambar, menulis puisi dan juga cerpen. Menyukai persahabatan dan kepedulian. Musik kesukaan adalah lagu mellow macam Marcell, tapi sebenarnya menyukai hampir seluruh jenis musik. Biar hidup ini seimbang. Menyukai Mariana Renata dan Alexandra Gottardo, walaupun saya tahu saya sangat jauh dari kata tampan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Salju

14 April 2010   12:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:48 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com


: regina marlina

Pemilik lentera itu meninggalkan jantungnya di pepohon yang ditumbuhi abjad mimpi. Kelak, pada malam yang menguap engkau menemukan puluhan kunang sebagai penghuninya. Atau kawanan merpati di gurun langit, membisikimu tentang guratan silam dan ketika rampung, ketidakwarasan itu akan menyelam lebih dalam di keningmu. Seperti mencari angka-angka di balik kegaiban hatinya. Menyita sajaknya yang hendak ia bangkitkan di lorong-lorong terabaikan. Kau berbicara padaku dengan ciuman cahaya, menyergapku di mana saja lalu segenap hatiku akan menganyam sahutan dari sayap malaikatmu. Hingga hujan tak mampu dijinakkan. Aku adalah risau yang terkurung di pintu keluarnya sendiri. Sedang engkau membukakan pintu keluar yang lain. Seperti mengecap dimensi padat dari doa dan menyeretku ke tepi kursi tamanmu dan imajimu memintaku tidur panjang menuju masa depan. Mungkin kau pun tahu, meniti masa lalu dalam kesemuan yang menggumpal lebih luka ketimbang luka atas kebohongan. Mendekamlah mereka pada bintang jatuh. Melukai aku berulang-ulang. Sebelum denting itu menyepi dan tak melambaikan lengang dari tragedinya sendiri. Dan engkau membawakanku gugusan salju dari balik selimutmu. Menjadi sosok dingin yang tersekat dan membungkam riuhnya kekalahan. Aku pun berbicara padamu dengan drama kebahagiaan yang kucari-cari itu. Bahkan sesudah bertemu denganmu, bilik jantungku yang menganga menampung air matanya sendiri.

[Palembang, 27'03'10]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun