Mohon tunggu...
Achmad Zulfikar
Achmad Zulfikar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Data, Bola, Astrofisika

Penggemar sepak bola dan NBA. Sedang mendalami data science dan data analysis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ketidakmerataan, Suatu Masalah yang (Tak Sengaja) Terekspose oleh Sistem Zonasi PPDB

2 Juli 2024   20:49 Diperbarui: 2 Juli 2024   21:12 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tidak ada hubungannya dengan artikel di bawah akan tetapi menjadi ilustrasi yang menarik untuk dijadikan cover. Sumber: Deepai 

Tanpa terasa, usai sudah bulan Juni yang pendek ini, menandakan kita telah tiba di pertengahan tahun 2024. Dan layaknya tahun-tahun sebelumnya, pertengahan tahun ini pun juga dilalui oleh kisruh tahunan di ranah Pendidikan, Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) jalur zonasi.

Ya, selalu muncul masalah pada metode penerimaan siswa yang pertama kali dikenalkan di tahun 2016 ini, mulai dari orang tua yang merasa sekolah adalah tetangga sendiri tapi masih saja tertolak, hingga isu orang tua siswa yang menitipkan nama anaknya ke Kartu Keluarga (KK) sanak famili atau kenalan yang rumahnya dekat dengan sekolah demi peluang yang lebih besar untuk masuk melalui jalur ini. Begitu kompleks, lucu, dan kadang tragis masalah yang beredar terkait isu zonasi ini.

Sejujurnya, hingga kini, saya masih merasa geli Ketika mendengar persaingan siswa untuk masuk sekolah yang baru adalah melalui kompetisi 'siapa yang dekat dialah yang menang', suatu hal yang tidak dapat dikendalikan oleh siswa secara langsung, dan bukan melalui nilai yang murni merupakan hasil jerih keringat siswa itu sendiri.

Akan tetapi, bukan itu yang ingin saya bahas di kesempatan ini.

Tidak, kali ini saya ingin membahas masalah yang telah mengakar pada pendidikan kita, yang tak sengaja telah terekspose setelah sistem zonasi ini diterapkan, yakni ketidakmerataan distribusi sekolah di berbagai daerah.

Anda mungkin hanya akan mendengus ketika membaca tulisan ini, berpikir, 'Ah, ini hanya omong kosong.'. Akan tetapi, jika anda masih berkenan membaca, saya akan mengajak anda berselancar menelusuri jalan pemikiran saya, mengajak anda menganalisis, mengapa saya sampai pada Kesimpulan tersebut?

Sebagai disclaimer, semua kesimpulan yang saya ambil berasal dari riset kecil yang saya lakukan terhadap kota saya sendiri, yakni kota Malang, sehingga tulisan ini tidak dapat merepresentasikan daerah lainnya. Ya, ya. Saya tahu ini bertentangan dengan yang saya sebut di dua paragraf sebelum ini, mengklaim dengan tulisan tebal 'di berbagai daerah'. However, bear with me. Ini mungkin akan menjadi studi kasus yang menarik untuk diteliti di daerah lainnya.

Lantas, bagaimana riset saya berjalan?

Sebagai parameter tambahan agar penelitian kecil ini tidak terlalu panjang dan lebar, saya memilih untuk hanya meneliti PPDB jalur zonasi untuk kategori SMA/SMK saja. Dan berhubung inti dari tulisan ini adalah distribusi sekolah, tentu saya harus mencari tahu hal paling mendasar, bagaimana distribusi sekolah di kota malang? Cukup menyebar kah untuk penduduk dari seluruh penjuru kota bertaruh karir pendidikannya melalui jalur tersebut?

Oleh karena itu, ide yang pertama kali muncul di kepala saya adalah mencari tahu jumlah total SMA dan SMK di kota Malang. Setelah penelusuran singkat ke laman Pemerintah Kota Malang, saya mendapati total 12 SMA Negeri dan 12 SMK Negeri di kota dingin ini. Akan tetapi, saya tidak tahu kapan terakhir kali data tersebut diperbaharui, karena jelas di laman PPDB Jawa Timur menunjukkan sekolah yang menerima siswa melalui jalur zonasi (ataupun jalur regular lainnya) berjumlah 10 SMA Negeri dan 13 SMK Negeri.

Sebuah ketidaksinkronan yang jelas membingungkan saya.

Akan tetapi, berhubung yang saya butuhkan adalah data dari sekolah yang menerima siswa melalui jalur zonasi, saya putuskan untuk lebih memercayai laman PPDB Jawa Timur kali ini.

Lantas, selanjutnya apa?

Setelah riset dan pengelompokan yang tidak sebentar, saya mendapatkan sebuah hasil yang mengejutkan.

Data Distribusi SMA/SMK Negeri di Kota Malang Berdasaran Lokasi Kecamatan. Sumber: Riset Pribadi.
Data Distribusi SMA/SMK Negeri di Kota Malang Berdasaran Lokasi Kecamatan. Sumber: Riset Pribadi.

Sebuah hasil yang mencengangkan, bukan?

Kecamatan Klojen menguasai separuh dari SMA Negeri, dan berbeda dari sekolah di kecamatan lain yang tersebar di berbagai kelurahan, dari 11 Kelurahan di yang ada di dalam kecamatan Klojen, kedelapan sekolah tersebut hanya tersebar di empat kelurahan. Ya, empat, dan bukan lima. Jangan tertipu dengan label kelurahan Kiduldalem pada Alamat resmi SMAN 1 Malang. Sejatinya, mereka telah bertetangga dengan SMAN 3 Malang dan SMAN 4 Malang sejak zaman dahulu kala.

Saya menolak percaya bahwa ketiga sekolah tersebut berbeda kelurahan.

Back to the topic, hal menarik lain yang dapat dilihat adalah distribusi sekolah pada kecamatan Sukun dan Blimbing yang hanya memiliki SMK Negeri di sana. Jika ingin bertaruh di jalur zonasi, tidak ada pilihan lain bagi siswa yang tinggal di daerah tersebut kecuali untuk melepaskan piilihan SMA Negeri.

Tidak berarti saya mengatakan ada yang salah atau memalukan dengan menjadi siswa SMK. Akan tetapi, melihat kemungkinan yang lain direngut hanya karena tempat tinggal yang jauh terdengar konyol dan tidak adil.

Ah, sebelum terlupa, saya juga mendapatkan sebuah informasi yang menarik.

Pembagian peta kecamatan kota Malang. Sumber: Pengadilan Agama Malang.
Pembagian peta kecamatan kota Malang. Sumber: Pengadilan Agama Malang.

Peta di atas adalah peta yang saya dapatkan dari situs pengadilan agama kota Malang, sehingga anda dapat abaikan judul yang tertera. Jika anda fokuskan pandangan terhadap posisi kecamatan di kota Malang, anda akan merasa wajar jika melihat Kembali fakta bahwa hampir seluruh SMA Negeri berada di kecamatan Klojen, karena mereka berada tepat di jantung kota Malang.

Akan tetapi, jika melihat dari segi luas, muncul pertanyaan, bukankah seharusnya keempat kecamatan lain yang justru lebih besar memiliki sekolah yang lebih banyak ya?

Ya, inilah ketidakmerataan yang di awal saya katakan.

Hampir seluruh lembaga pendidikan pra-kuliah di kota Malang hanya berpusat pada satu kecamatan saja, membuat siswa yang berkediaman di daerah kecamatan lain berada di posisi yang tidak menguntungkan. Jika di kecamatan lain rumah berjarak satu km pun masih masuk, di sini, bahkan terkadang dengan jarak 600 meter mereka harus tertolak dari sekolah impian mereka, sebuah nasib yang tragis dikarenakan sesuatu yang tak dapat mereka control.

Lalu, apakah usai sampai di sini?

Tentu tidak. Dengan mengambil data siswa terbuncit di daftar PPDB zonasi tiap sekolah (atau dengan kata lain siswa dengan jarak terjauh dari masing-masing sekolah), saya berhasil membuat sebuah pemetaan yang menarik.

Peta Jangkauan zonasi SMA/SMK Negeri di Kota Malang. Sumber: Riset Pribadi.
Peta Jangkauan zonasi SMA/SMK Negeri di Kota Malang. Sumber: Riset Pribadi.

Peta di atas adalah gambaran kasar hasil PPDB zonasi di kota malang, dengan radius dari masing-masing lingkaran adalah jarak terjauh rumah siswa yang diterima di sekolah bersangkutan. Semaking banyak sebuah daerah terlingkupi lingkaran abu-abu, semakin banyak pula pilihan masuk sekolah mereka.

Apakah hal tersebut membuat mereka pasti mendapatkan sekolah? Sayangnya tidak. Akan tetapi, at least, peluang mereka lolos melalui jalur zonasi menjadi lebih besar.

Lantas, bagaimana dengan daerah yang sama sekali tidak tersapu lingkaran abu-abu? Apakah itu berarti siswa yang berkediaman di sana tidak ada yang lolos melalui jalur zonasi? Karena pemetaan di atas hanya merupakan Gambaran kasar, tentu tidak menutup kemungkinan siswa dari daerah non abu-abu lolos melalui jalur zonasi, sehingga saya tidak dapat menjawab dengan pasti.

Lalu, jika mereka tidak bisa masuk melalui jalur zonasi, bagaimana dengan Pendidikan mereka?

Hey, jalur penerimaan siswa baru tidak hanya melalui kompetisi 'siapa dekat dia dapat', kawan. Siswa lain pun dapat masuk melalui jalur prestasi ataupun jalur nilai, sesuatu yang berada dalam control penuh mereka. Pun jika mereka masih tidak lolos, masih ada sekolah swasta yang tentu kualitasnya bisa jadi sebanding atau JAUH lebih baik daripada sekolah negeri (meskipun tentu akan ada biaya yang harus dibayar).

Kembali lagi ke topik awal, setidaknya, dari riset kecil yang telah saya lakukan, saya dapat menyimpulkan bahwa ADA ketidakmerataan sekolah paling tidak di jenjang SMA/K di kota Malang. Apakah dapat disimpulkan sedemikian rupa untuk daerah lain? Tentu tidak. Akan tetapi, jika anda tertarik, anda mungkin dapat menggunakan metode serupa untuk daerah anda, siapa tahu akan muncul hasil menarik lainnya, bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun