"Kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan pun hidup. Kalau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja." (Buya Hamka)
 Dialog itu begitu terngiang dalam ingatanku saat sosok Abdul Malik Karim Amrullah atau yang akrab disapa Buya Hamka memandang hidup bukan hanya sekadar antara lahir dan meninggal saja. Kehidupan dipandang sebagai suatu hal yang harus dipenuhi hari ini, esok, dan sampai menghadap ke Sang Pencipta nanti. Lantas, apakah hanya cukup kita mewariskan harta saja saat sudah tidak ada di dunia? Justru ada warisan yang lebih berharga untuk generasi berikutnya yaitu pemikiran-pemikiran yang gigih dalam menegakkan agama Islam.
Penulis beruntung mendapat kesempatan hadir dalam Gala Premiere Film Buya Hamka yang diadakan hari ini di Epicentrum XXI. Saat menonton kisah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, tokoh Masyumi, dan ulama Muhammadiyah tadi banyak sekali kisah inspiratif yang bisa dijadikan bahan konvergensi saat Ramadan tahun ini. Sosok Buya Hamka dibingkai sangat tegas dalam hal menegakkan akidah tanpa kompromi dan membela Islam dari sisi-sisi yang lebih manusiawi.
Hamka (Vino Bastian) dikenal sebagai sosok penulis roman yang begitu masyhur di zamannya. Tahun 1938, novel-novelnya yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka'bah berhasil memikat hati para pembaca. Sudut pandang lain dari Hamka terlihat saat Ia memandang ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang netral (bebas nilai). Sebab perkembangan ilmu pengetahuan (termasuk dari dunia Barat) terbilang sesuai dengan ajaran Islam.Â
Beranjak dari situ, Ia berhasil merepresentasikan semangat modernisme Islam melalui organisasi kemasyarakatan yang diretasnya seperti Muhammadiyah dan Masyumi. Ada peran ayahnya, Abdul Karim Amrullah (Donny Damara) yang juga menjadi pembaharu agama di Minangkabau.
Narasi film religi yang divisualkan dalam format layar lebar ini juga menunjukkan bahwa agama Islam selalu siap berdialog dan terbuka terhadap penemuan-penemuan ilmu pengetahuan. Buya Hamka sempat singgah di Medan untuk aktif menulis karya tentang filsafat, tasawuf, dan mendulang sukses bersama media Pelita Harapan. Tapi, sekitar tahun 1944 saat masa penjajahan Jepang, Ia mulai dikucilkan masyarakat Indonesia karena dianggap pro pemerintah Jepang.
Tahun 1945 Indonesia merdeka, Buya Hamka sudah berada kembali pulang ke kampung halaman Padang Panjang. Selama menetap di sana, keseharian Hamka banyak mempelajari ilmu Alquran sesuai adat Minang. Ia juga fokus mengurus Persyarikatan Muhammadiyah tapi masih saja ada yang menjegal dan mengucilkan kiprahnya hanya karena urusan politis semata.
 Akankah Buya Hamka melanjutkan perjuangan atau menyerah sampai disini saja?
Â
Sebelum menonton film ini, penulis sempat menengok kembali peran Buya Hamka saat Ramadan. Dari beberapa literatur yang penulis baca, Â ternyata pertama kali ide peringatan Nuzulul Quran diusulkan oleh Buya Hamka. Ide itu muncul sebagai bentuk keselarasan semangat keagamaan dan semangat kebangsaan. Konon penetapan tanggal 17 Ramadan juga identik dengan tanggal 17 Agustus 1945 saat Indonesia dinyatakan merdeka.
Dalam aktivitas dakwahnya selama Ramadan, Buya Hamka juga fokus terhadap kelompok-kelompok sosial yang tumbuh pada masanya itu seperti buruh pabrik, kuli, atau pekerja kasar. Buya Hamka menyimpulkan ada keringanan puasa bagi mereka yang ingin menjalankan kewajiban syariat Islam dengan tetap melaksanakan kewajiban cari nafkah untuk keluarga. Hanya saja kisah-kisah Buya Hamka selama Ramadan tersebut belum bisa ditemukan dengan gamblang pada film layar lebar volume pertamanya.
Namun, aku puas melihat adegan demi adegan yang menunjukkan kiprah Buya Hamka dalam berbagai bidang sehingga sosoknya mulai dikenal. Berawal dari pemikirannya yang membawa pengaruh untuk bangsa, Buya Hamka memang terlihat punya daya intelektual yang cerdas, kepedulian terhadap sesama, dan kasih sayang dengan keluarga.Â
Karakternya membentuk pribadi yang begitu bersahaja. Gagasan-gagasannya pun berani untuk bicarakan keislaman, pendidikan, nasionalisme, dan politik. Kisah inspiratif Hamka membuat kita sadar bahwa hari ini dan seterusnya, kita harus punya pengetahuan yang luas, berakhlak mulia, dan kehidupannya bermanfaat bagi banyak orang.
Nonton pertama kali Film Buya Hamka sebelum tayang untuk publik, aku jadi begitu merindukan sosok seperti itu hadir dalam kehidupan terkini. Semoga akan lahir Hamka berikutnya yang mampu menyampaikan dakwah dengan sentuhan kemanusiaan. Ketokohannya yang dianggap inspiratif atas jasa-jasa yang membawa perubahan baik tentu bisa melekat dalam ingatan kolektif banyak orang. Rumah produksi Falcon Pictures berhasil menghadirkan mahakarya film yang diangkat dari sosok panutan dan punya kisah inspiratif untuk makna Ramadan yang menenangkan.
Menonton film Buya Hamka sebagai upaya untuk merawat bangsa. Mental spiritual di era digital yang mudah sekali menggoyahkan iman akan lebih terjaga saat kita kembali memaknai karya-karya Hamka yang abadi sepanjang masa. Datanglah ke bioskop tanggal 20 April 2023 untuk melihat film biopik dari kisah inspiratif ramadan yang penuh keteladanan. Dari situ, kita bisa membuat konvergensi dan melihat hidup secara utuh. Mau berusaha melakukan yg terbaik dengan apa yang kita miliki demi masa depan yang lebih cemerlang untuk diri sendiri, keluarga, teman, dan sesama manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H