Tiap 30 Maret kita merayakan Hari Film Nasional. Tanggal itu menjadi waktu pelaksanaan MusPen Talk yang diadakan Museum Penerangan. Dalam acara talkshow yang berlangsung hibrid, "Berkreasi Melalui Animasi" menjadi topik yang diperbincangkan.
 Film animasi menjadi film yang selalu ditunggu semua kalangan. Film animasi lokal pun makin banyak diminati. Meski pembuatan filmnya terasa merepotkan sebab harus didukung teknologi yang canggih dan mumpuni.
Coba teman-teman Kompasianer bayangkan saat kita harus membuat suatu gambar. Lalu, gambar tersebut dialihwahanakan ke dalam bentuk gambar bergerak. Rangkaian gambar bergeraknya juga harus punya karakter dan latar cerita yang indah secara visual. Belum lagi ditambah unsur audio atau voice over yang mendukung suasana tiap episodenya.
Aku pun ditunjuk sebagai moderator dalam acara MusPen Talk hari itu. Acara yang hampir dihadiri 100 peserta, baik secara online dan offline ternyata berlangsung seru. Tak hanya sekadar perayaan Hari Film Nasional ke-73 saja, MusPen Talk juga menjadi rangkaian dari Program 3 Dekade Museum Penerangan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII)
Sejarah Film Animasi di Indonesia
Melihat kembali sejarah animasi di Indonesia ternyata sangat panjang dan banyak diantara kita yang belum mengetahuinya. Minim literatur atau referensi terkait animasi ini membuat kita bertanya dari mana asal muasal animasi di Indonesia. Sosok kreator dari animasi "Biyani" yang memiliki nama lengkap Dyah Indra Mertawirana menceritakan perjalanan panjang sejarah animasi dari masa ke masa.
Menurutnya, animasi di Indonesia berasal dari gambar cadas mineral permukaan di Maros, Sulawesi pada puluhan tahun sebelum masehi. Berlanjut, ke seni wayang Beber yang mana konsep animasi tradisional masih dikendalikan oleh dalang. Sampai tahun 1980an, film animasi pertama di Indonesia yang berjudul Si Huma tayang di TVRI atas kolaborasi Perusahaan Film Negara (PFN) dan UNICEF.
Beranjak dari situ, TVRI mulai melirik film animasi untuk terus tumbuh di negeri kita sendiri. Konsep puppet animation dengan tajuk si Unyil berhasil tayang mencapai 603 episode. Mulailah beberapa animator lokal menunjukkan taringnya sampai tahun 90an dengan memproduksi serial animasi 3D Hella-Helli-Hello, Petulangan Si Kancil, Timun Mas, dan masih banyak cerita rakyat lain.
Sayangnya, industri perfilman Indonesia sempat mati suri pada kurun waktu 1991 sampai 1998. Dalam kurun waktu tersebut, animator di Indonesia tak ada yang tampak unjuk gigi atas keahliannya dalam bidang grafis. Kemudian film animasi bangkit bersama yang diawali dengan film bertajuk Battle of Surabaya pada tahun 2012. Muncul-lah judul-judul film animasi lain dalam format layar lebar seperti Keluarga Somat, Petualangan Si Unyil, Si Juki The Movie, Adit Sopo Jarwo, Nussa dan Rara, serta terakhir Film Kiko in the Deep Sea yang tayang di bioskop.
Lalu, Seperti Apa Peluang Kerja di Industri Animasi Indonesia?
Dalam industri animasi, para animator lokal kadang namanya masih kalah pamor dengan tim produksi film panjang, film pendek, atau film dokumenter sekalipun. Apalagi Pemerintah belum mendukung secara layak industri animasi di Indonesia baik dari segi dana, kelembagaan, atau peraturan undang-undang. Cuma kalau Kompasianer mau bersaing sebagai sumber daya manusia dari Indonesia untuk kancah internasional tentu berbagai peluang bisa dibuka.
 Bella Yolanda selaku Production Talent Manager dari Infinite Studios Batam menceritakan pengalaman kerjanya di studio kreatif animasi terbesar dan terlengkap se-Asia Tenggara. Sebagai lulusan ilmu komunikasi, Ia punya kebanggaan tersendiri melihat potensi kreator-kreator lokal yang selalu melakukan eksperimen optik atau membuat tipuan visual menggunakan teknik Computer Generated Imagery (CGI) atau pencitraan hasil komputer dengan hasil yang mulus alias tidak patah-patah.
Melihat masa lalu film nasional, Ia teringat bahwa proses pembuatan film masih seadanya. Minim juga pendidikan animasi di Indonesia yang berkembang. Kurikulum belajar tentang animasi saja belum final sampai sekarang. Cuma rasa optimis itu ada. Mengingat, pendidikan vokasi sudah mulai membuka kelas animasi atau jurusan multimedia. Kondisi demikian bisa mencetak generasi-generasi animator yang lebih handal.
Dalam sesi diskusi panel kedua hari itu, Ia menuturkan bahwa setiap individu yang mau terjun ke industri animasi tak hanya sekadar modal jago gambar saja. Mereka harus mau upgrade skill atau berlatih tanpa batas setiap hari. Minimal, mereka mampu berkreasi dengan fokus pada salah satu bidang animasi yang diminati. Bekerja di industri animasi membutuhkan konsistensi yang tinggi.
Kita tentu paham bahwa Indonesia memang masih sangat dini untuk unjuk gigi dalam bidang animasi. Tapi, semua potensi sudah ada di negeri ini. Tinggal masing-masing ambil peran untuk ciptakan intellectual property (IP) dan output karya film animasi yang terus berkelanjutan. Seperti tema #HFN2023 yaitu Melihat Masa Lalu, Merencanakan Masa Depan, maka film animasi harus tetap tumbuh sepanjang tahun agar bisa membentuk pangsa pasar penontonnya sendiri.
   Talkshow yang diadakan Museum Penerangan hari Kamis lalu, mengingatkanku suatu perjalanan panjang yang telah dilalui film animasi di Indonesia untuk capai eksistensinya. Kendati sempat mati suri, definisi berkreasi melalui animasi tak boleh surut lagi. Para kreator yang mau terjun ke industri animasi juga harus siap mental untuk lewati proses kreatif pembuatan film animasi yang begitu lama.Â
Tak ada yang instan untuk buat film animasi lokal terus berkembang. Berbagai dialektika dari sisi kreator dan industri animasi akhirnya menjadi catatan dalam tulisan ini. Aku, kamu, dan kita harus terus dukung film animasi lokal demi buka peluang industri kreatif ini menjadi makin fenomenal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H