Obrolan kala lebaran terkadang jadi hal yang menakutkan bagi sebagian orang. Istilah anak zaman now "shamming vibes". Saat bertemu keluarga, tetangga, teman, dan kerabat lain pasti selalu saja ada pembicaraan tentang fisik (berat badan dan penampilan), karir (pekerjaan dan pendapatan), pasangan (mana calonnya dan kapan nikah?), serta status (kok sudah nikah, belum punya anak?!). Setidaknya hal-hal itu memang wajar dipertanyakan, tinggal bagaimana si penanya bisa memahami situasi dan kondisi saat bertanya. Berdalih basa basi, malah bisa bikin sensi.
     Sebagai milenial, aku sudah kuat dan tahan banting untuk menghadapi pertanyaan atau topik obrolan yang menyudutkan itu. Untuk gen Z, mereka biasanya lebih pilih tidur atau masuk ke kamar saat momen lebaran berlangsung. Setidaknya lebih baik menjauh dari perbincangan dibanding harus menjadi individu yang selalu dibanding-bandingkan dengan yang lain. Gen Z berpikir silaturahmi justru membuat cemas dan malas terlibat percakapan di sana.
     Tanpa disadari, pertanyaan atau topik obrolan seperti itu bisa merusak momen silaturahmi dan kesehatan mental kembali diuji. Istilah anak gaul sih "repeat" terus tiap tahunnya sebab berasa lagi diinterogasi keluarga besar. Sekadar bertanya kadang sah saja. Tapi, biasanya ada pernyataan-pernyatan lain yang bisa mengganggu pikiran. Misal:
- "Tuh! Contoh si anak om X, gajinya aja dua digit. Kerja di perusahaan bonafide pula. Kalo kamu, masa setelah Ramadan mau balik lagi rebahan"
- "Eh, umur kamu udah kepala 3 loh. Masih belum punya jodoh? Nanti, disangka perjaka atau perawan tua yang gak laku tuh"
    Meski ada yang bilang, pernyataan itu tanda perhatian dari seseorang. Nyatanya, pernyataan-pernyataan tadi justru buat sakit hati dan sebaiknya dihindari. Jadikan momen lebaran untuk saling bermaafan. Tak perlu ada lontaran pernyataan yang menyakitkan dari bibir yang terbiasa mengucap kejulidan. Ujungnya, malah bisa menambah dosa baru. Ayo, kita tata mental dari sekarang.
    Pertanyaan dan pernyataan yang dianggap sebagai bentuk kepedulian tersebut juga bisa disikapi secara bijak. Minta saja didoakan langsung oleh orang yang bertanya. Kalau perlu, mohon kepada mereka untuk mencarikan solusi seperti apa. Biar obrolan yang sedang berlangsung bukan hanya sekadar tong kosong atau bacot saja.
    Trik dari penulis, sebelum ada yang membuka topik obrolan, cobalah untuk pegang kendali situasi. Kita bisa menyuruh tamu yang datang untuk menikmati hidangan, diberi hampers, atau sampaikan salam tempel pada mereka yang berkunjung. Ciptakan suasana yang lebih kondusif atau buka obrolan baru seputar hobi, selebritis favorit, sampai hiburan atau film yang mau ditonton bareng.
    Bila trik di atas belum ampuh. Pasanglah headset pada kedua telingamu. Dengarkan musik jauh membuat mentalmu lebih kuat menghadapi awkward moment seperti tadi. Hal ini juga berlaku saat kita dighibahin di belakang ya bukan secara terang-terangan.
    Kesabaran memang tiada batasnya. Tetaplah menjadi individu yang selalu berpikir positif bagi mereka yang terjebak dalam tradisi obrolan lebaran destruktif. Jangan sampai kita terlihat baperan saat terlibat dalam obrolan lebaran yang menyakitkan mental. Keponya seseorang terhadap hidup kita menandakan bahwa kualitas hidup kita bisa lebih baik dari mereka.
    Percayalah, waktu setiap orang berbeda untuk mencapai goals hidup. Kita yang menjalankan kehidupan dan orang-orang tersebut biasanya hanya suka berkomentar. Semua takdir kita di dunia sudah ditetapkan timelinenya oleh Allah SWT. Sebagai manusia, tugas kita hanya berusaha dan berdoa. Biarlah Allah SWT yang akan menentukan dan menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan.
Semoga aku, kamu, dan kita bisa kebal dengan tradisi obrolan lebaran yang sekadar basa basi tanpa esensi yang kekal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H