Urgensi untuk jadikan agama sebagai penuntun dalam merawat persaudaraan biasanya didasari asas kemanusiaan. Hal ini sebagai bentuk ikhitiar mewujudkan persaudaraan antar iman. Bangun kesepahaman dan komitmen kolaborasi dalam perbedaan pernah menjadi saksi hidup penulis saat menjadi minoritas di Nusa Tenggara Timur.
Toleransi itu ibarat jiwa luhur nasionalisme yang sangat penting dijaga sampai saat ini. Keutuhan NKRI dipertaruhkan didalamnya supaya tak ada oknum yang mau dan mudah diadu domba lagi. Apalagi Indonesia itu termasuk dalam negara yang majemuk, maka sikap toleransi harus dikedepankan dibanding mau menang sendiri.
Toleransi yang dipupuk sejak dini, aku rasakan saat berada di Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur beberapa tahun lalu. Saat perayaan Paskah, aku sebagai seorang muslim dapat undangan untuk hadir meliput seperti apa perayaan yang khidmat bagi mereka yang meyakini agama Kristen dan Katolik.
Sebagai penganut paham toleransi, aku pun menyetujui dan datang ke perayaan tersebut tanpa pikir panjang. Disinilah sikap saling menghormati dan saling menghargai antar individu terjalin secara arif nan bijak tanpa kedepankan ego. Bagiku, kepentingan bersama jauh lebih besar dibanding kepentingan individu.
Selama perayaan Paskah tahun 2017 itu, aku terenyuh dalam suasana damai di gereja. Doa-doa dilantunkan, aku pun sibuk mengabadikan setiap ritual ibadah mereka. Momen itu membuat aku sadar apabila setiap individu punya jiwa toleransi, secara otomatis mereka juga tidak mudah diprovokasi.
Tiba-tiba, aku juga teringat setiap kebersamaan dalam setiap acara lainnya selama di Atambua. Sebelum pembukaan acara, ada doa bersama yang dilakukan dalam dua versi, baik doa secara Islam dan Katolik. Kesepakatan ini tak pernah diperdebatkan karena masing-masing sudah paham seperti apa makna toleransi. Orang yang mengerti toleransi tidak akan mendikotomikan suku, ras, dan agama mana yang bakal dibela. Bukankah kita sudah meyakini ajaran agama masing-masing. Tinggal bagaimana kita jadikan doa untuk mengetuk pintu hati Sang Pencipta-Nya.
Saat itu, aku tak pernah khawatir hidup menjadi minoritas. Meski sempat ragu apakah aku sanggup bertahan di perbatasan Indonesia dan Timor Leste kala itu. Tapi, keraguanku ditepis ketika dipertemukan dengan warga Belu yang ramah dan selalu memberi senyuman yang sumringah.
Andai waktu bisa terulang lagi, aku pasti kembali. Saat aku bertanya keberadaan masjid atau ingin tahu arah kiblat, mereka selalu coba membantuku. Apalagi jaringan teknologi belum begitu canggih sehingga susah sinyal kadang membuatku kesulitan.
Pernah suatu ketika saat aku berada di pedalaman desa. Aku ingin menunaikan salat Jumat. Rasanya aku sudah pasrah tergeming sebab tak menemukan masjid di sekitar. Begitu aku bilang ke warga desa itu, aku justru langsung diantar naik sepeda motor untuk menemukan masjid yang aku cari.
Bahkan saat momen salat Jumat, biasanya jalan utama sengaja ditutup untuk mempersilakan umat muslim menunaikan ajaran agamanya. Beberapa aparat keamanan yang beragama Katolik juga terlihat menjaga masjid saat ibadah salat berlangsung. Maka, momen toleransi mana lagi yang tak indah ketika masing-masing individu merasa aman dan nyaman menjalani keyakinan agamanya masing-masing.
Penguatan sikap tolerasi beragama sejatinya memang sangat dibutuhkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia juga mencapai kemerdekaan karena persatuan umat beragama yang menjadi pelopor. STOP! Aksi teror yang memicu banyak reaksi dari masyarakat.
Toleransi sejatinya mengantarkan antar iman untuk membuka diri dan menerima semua perbedaan yang tercipta. Tanya kembali ke dalam diri, sudah punya sikap toleran kah kita? Introspeksi diri dan kembali refleksi tentang segala aktivitas dalam keseharian. Coba resapi lagi, seperti apa kita memandang seseorang yang beda keyakinan.
Langkah sederhana yang bisa dimulai di bulan Ramadan ini, yaitu kita bisa berteman dengan ragam agama yang membuat hidup terasa lebih indah. Indonesia kan sudah dikenal dengan keragamannya. Suku, agama, bahasa, ras, budaya, dan adat istiadat tak boleh dijadikan stigma. Perbedaan atas keyakinan terhadap sesuatu menjadi keniscyaan yang bisa ditemui tanpa pandang bulu.
Saring sebelum sharing atas semua bentuk informasi yang sifatnya mendiskreditkan suatu golongan atau sengaja menyebarkan ujaran kebencian untuk memecah belah persatuan dan kesatuan umat beragama. Apapun bentuknya, hate speech tidak dibenarkan untuk disebarluaskan. Redam intoleransi dan mulai dari dalam pikiran untuk ciptakan kedamaian. Inilah catatan kisah toleransiku untuk Ramadan penuh kebaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H