Euforia virtual peringatan Hari Anak Nasional yang dirayakan setiap 23 Juli tetap ramai meski berada di tengah pandemi Corona. Tema untuk tahun 2020 ini yaitu 'Anak Terlindungi, Indonesia Maju.' Tema ini sejalan dengan kondisi anak-anak Indonesia yang masih mengalami tindak eksploitasi, kekerasan, perlakuan buruk, dan perundungan.
Ingatan penulis kembali pada berita Kompas.com di awal Maret terkait kasus anak yang membunuh tetangganya yang masih balita karena terlalu banyak menonton film horor dan film dengan adegan sadis. Anak dianggap sebagai peniru ulung atas apa yang mereka lihat langsung atau melalui media tayangan televisi dan film.
Industri hiburan nyatanya memiliki peran besar untuk membentuk pola pikir anak. Kecenderungan anak begitu mudah ingin menjadi seperti tokoh yang ada dalam film atau apa yang dilihatnya. Apalagi saat anak sudah terbiasa menonton semua itu melalui akses internet selama di rumah saja.
Begitu juga terkait kasus jaringan cyber pornografi yang dilakukan oleh pedofil atau predator seksual. Masih banyak anak yang menjadi objek kepuasan dan kenikmatan. Semua itu dilakukan demi menyangkut pelepasan hasrat seksual yang menyimpang.
Pun banyak anak Indonesia yang dituntut oleh orang tua untuk menjadi seperti apa yang mereka mau. Anak-anak hidup dengan pola asuh yang kasar dan tidak manusiawi karena kurang perhatian akibat kesibukan orangtua. Anak-anak Indonesia berada pada bingkai terabaikan dan tidak terlindungi.
Meski instrumen regulasi sudah mengakomodir semua itu, nyatanya kegagalan implementasi masih saja menimpa anak negeri. Film yang beredar di bioskop sebelum pandemi memang banyak, tapi hanya menekankan pada sisi hiburan yang minim edukasi. Sudah selayaknya anak-anak harus mendapat alternatif tontonan film Indonesia yang sesuai dengan usianya.
Bila menengok masa kecil penulis diawal era milennium, film anak hanya hadir terbatas saja. Film Petualangan Sherina dan Film Joshua oh Joshua menjadi kebangkitan film anak Indonesia. Berdasar pengamatan penulis, hanya 32 judul film anak yang berhasil tayang sampai bulan Juli ini. Berarti, per tahunnya cuma 1 atau 2 film tentang anak yang diputar di bioskop bahkan bisa saja ada tahun yang tak dihiasi film anak sama sekali. Miris sekali melihat perkembangan film anak di industri film lokal padahal anak-anak bisa menjadi segmentasi penonton yang efektif, terutama saat momen-momen liburan.
Dari realita tersebut, instrumen pendidikan harus mampu memasukkan media audio visual seperti film. Banyak ide cerita yang bisa digali untuk membangkitkan kepercayaan diri dalam bentuk film anak yang berkualitas. Ketika jumlah film anak semakin banyak, bukan tak mungkin hal itu bisa mengurangi intensitas anak bermain ponsel. Apalagi anak-anak zaman now sudah terkontaminasi konten hiburan dari games, komik, dan film animasi.
Sudah sewajarnya industri film nasional harus memenuhi tantangan zaman untuk memproduksi film Indonesia yang ramah anak. Film anak disinyalir bisa memiliki urgensi pemeliharaan, pengembangan, dan pemanfaatan budaya bangsa. Melalui film anak, kita dapat memperkenalkan budaya suatu masyarakat kepada bangsa atau negara lain dari perspektif keluarga. Hal ini berfungsi untuk menjalin hubungan antar bangsa untuk saling mengenal budaya masing-masing. Itulah hakikat film Indonesia yang dianggap sebagai pembentuk karakter suatu bangsa.
Ingat, film tak lagi dipandang sebagai media hiburan semata. Film berkembang untuk transmisi nilai dan norma, media pendidikan dan pencerahan, penyebar gagasan dan pemikiran, perekam sejarah, media refleksi untuk melihat diri dan tradisi sendiri, hingga media kritik sosial yang menjadi sarana berdialog tentang persoalan-persoalan kehidupan yang memuat cara pencarian solusi.
Film nasional bisa mengekspose fenomena etika budaya dan fenomena estetika sinematografi. Sebagai salah satu bentuk karya seni, film akan dibawa ke dalam ranah pedagogi. Perspektif tersebut akan memandang film sebagai sumber belajar yang lebih konkret.
Anak zaman now yang identik dengan generasi digital membutuhkan pendidikan karakter kontekstual yang memanfaatkan teknologi sebagai media pembelajaran. Film bisa dioptimalkan jadi metode pembelajaran kreatif tersebut. Film dinilai efektif karena mampu menyampaikan pesan inspiratif yang menyenangkan dalam konteks pendidikan.
Kegiatan belajar mengajar melalui film bisa diwujudkan dengan pendekatan pembelajaran kontekstual. Titik tolak ini terjadi jika film yang hadir terkait dengan konteks kehidupan anak itu sendiri. Ada relativitas konkret yang lebih luas untuk menjangkau pemahaman terhadap apa yang mereka lakukan dalam keseharian.
Kekuatan pendidikan berkarakter yang dinamis terhadap pondasi perkembangan zaman akan memposisikan film sebagai bentuk diplomasi dan promosi anugerah kekayaan budaya bangsa Indonesia. Kekuatan ini bisa menjadi modal daya saing bangsa dikancah dunia. Kita akan menyambut generasi digital yang berkarakter baik, memiliki keterampilan literasi yang tinggi, dan berkompetensi unggul melalui pemikiran kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif.
Banyak tema film anak yang bisa dieksplorasi. Mulai dari ragam karakter yang unik, kepolosan yang cerdas, dan masa-masa ceria selama di sekolah. Beberapa film anak juga mengangkat tema tentang kehidupan anak dalam keterbatasan. Beberapa film anak lain pun membuat premis cerita dari sisi mimpi anak-anak Indonesia yang luar biasa.
Semoga saja produksi film nasional bisa kembali operasional saat beradaptasi dengan kebiasaan baru. Banyak platform daring yang bisa menjadi opsi penayangan untuk film-film Indonesia yang ramah anak. Setiap anak berhak untuk mendapat hiburan yang layak.
Dibutuhkan pula kesadaran dari orang tua dan pengawasan dari pengelola bioskop atau platform digital yang berjalan seiringan. Orangtua punya tanggung jawab untuk memastikan perlindungan anak supaya anak bisa tumbuh sesuai dengan usianya. Orangtua perlu membangun komunikasi intens dengan anak-anak dalam berbagai pendekatan seperti menemani saat menonton atau mengobrol dengan anak setelah tontonan selesai.Â
Sementara pengelola bioskop dan platform digital harus tetap patuh dengan regulasi pengelompokan film berdasar usia yang telah diatur Lembaga Sensor Film (LSF) maupun Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Pengawasan harus dilakukan secara konsisten terhadap konten sesuai kategori usia penonton. Dengan begitu sensor film mandiri bisa dilakukan saat sinergi kreativitas dan struktur norma mampu melindungi anak-anak Indonesia.
Di akhir tulisan, penulis mengajak seluruh sineas perfilman untuk membuat ragam film anak yang bermutu guna membentuk karakter anak yang kuat dan sehat mental. Hal tersebut bisa membangkitkan jiwa nasionalisme, mewariskan nilai luhur, dan menumbuhkan kepekaan sosial. Berikan kegembiraan pada anak guna mereka tumbuh dalam lingkungan yang aman dan nyaman.
Indonesia harus menjadi negara yang layak anak. Jamin hak-hak dasar anak supaya tumbuh kembangnya terjaga, terlindungi dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi, serta tersedia ruang ekspresi anak untuk berkarya.Â
Berikan lingkungan kehidupan yang layak bagi setiap anak Indonesia dimulai dari menghadirkan film anak atau konten digital yang bisa memproteksi anak secara bijak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H