Musik memang indah. Itu bisa membuat bahagia meski dalam keheningan.
   Siapa Kompasianer yang masih ingat dengan Fiersha?
Seorang penyanyi yang menjadi juara 3 dari ajang pencarian bakat bertajuk Mamamia. Ajang bernyanyi yang didukung oleh mamanya tersebut membuat gadis kelahiran tahun 1993 itu memiliki bakat yang luar biasa. Meski, Ia seorang tuna netra.
Penulis menjadi salah satu penggemarnya masa itu. Aku paling ingat saat Fiersha berhasil menyanyikan lagu "CINTA" yang pernah dipopulerkan oleh Melly Goeslaw dan Krisdayanti. Dalam penampilannya, Ia bernyanyi dengan penghayatan yang mampu menyentuh hati penonton yang melihatnya.
Lama tak terdengar kabarnya, kini Fiersha sudah mantap berjilbab dalam keseharian. Ia juga disibukkan untuk mengajar anak-anak berkebutuhan khusus. Ia berhasil melewati keterbatasan dengan segudang prestasi yang tidak mudah dilalui.
Perjuangan, kerja keras, dan kesabaran Fiersha itu aku lihat kembali saat menonton sebuah film asing di Mola TV. Ada cerita yang hampir sama dialami oleh seorang penyanyi ternama di dunia. Penyanyi yang berhasil mewujudkan impiannya dengan kejujuran dan kedisiplinan yang kuat dalam bermusik.
Bagi Kompasianer penggemar musik opera, pasti sudah tidak asing dengan nama dan suara Andrea Bocelli. Penyanyi ini sudah mengalami kebutaan sejak kecil. Film The Music of Silence menjadi film biopik dari penyanyi tenor tersebut.
Film The Music of Silence diadaptasi dari kisah nyata kehidupan penyanyi, penulis lagu, dan produser dari Italia bernama Andrea Bocelli. Ia lahir dengan glaukoma bawaan. Sampai saat usia 12 tahun, Ia harus buta karena matanya terkena bola ketika sedang bermain sepak bola. Di tengah segala keterbatasan, Ia melanjutkan impiannya untuk jadi penyanyi. Di film ini, sosok Andrea Bocelli diperankan oleh tokoh alter ego bernama Amos Bardi.
Berkat tekadnya, Amos Bardi kecil (Matteo Pittiruti) mulai diorbitkan oleh Paman Giovanni (Ennio Fantastichini). Ia lolos ke final Piala Margherita meski usianya masih terbilang dini. Ia juga mulai mengenal sahabatnya yang menemani masa-masa belajar sampai masa terpuruknya.
Hasrat Amos Bardi remaja (Toby Sebastian) untuk bermusik tentu ingin menghapus steorotipe saat tuna netra yang belajar alat musik hanya menjadi tukang pijat saja. Diskriminasi kerap didapat saat Ia harus belajar bersama teman-teman non disabilitas lain dalam lingkup pendidikan inklusi. Kesulitan beradaptasi membuat Ia sempat terpukul dan membawa pada kehidupan klub malam.
Orang tua dan pamannya selalu mendukung karirnya. Amos Bardi bisa lulus sekolah dengan campur tangan Ettore (Francesco Salvi), seorang pensiunan manajer bank yang mengajarinya di rumah.Â
Meski kondisinya berbeda, Ia tetap sadar bahwa pendidikan begitu penting dalam hidupnya.
Setelah lulus dari universitas, Ia sempat membentuk grup Adriamos bersama sahabatnya. Unjuk bakat dihadapan produser pun ditolak. Amos Bardi tak gentar karena Ia tetap menggali potensi menyanyinya.
Amos Bardi menjadi penyanyi tetap di sebuah bar. Disitulah, Ia bertemu dengan Elena (Nadir Caselli) yang kemudian menjadi istrinya. Ada daya tarik tersendiri yang membuat hati Elena luluh terhadapnya.
Bakat yang langka itu mempertemukan pula Ia dengan maestro hebat bernama Suarez Infiesta (Antonio Banderas). Ia memperdalam kembali filosofi seni tarik suara. Sampai Ia berada di puncak popularitas yang telah dimimpikan sejak kecil.
Kalau ingin seperti orang lain, aku harus melakukan lebih baik dari mereka (Amos Bardi)
Film ini diproduksi oleh Picomedia sejak tahun 2017. Sebelumnya, buku otobiografinya juga telah dicetak pada tahun 1999. Dalam bukunya juga dijelaskan bahwa kekuatan diam saat bermusik bisa memenangkan suasana hati siapa saja.Â
Film The Music of Silence membagi 5 bagian untuk diikuti dari rentang waktu yang tercantum sebagai subtitle didalamnya (tahun 1958, 1973, 1978, 1989, dan 1993). Setiap tahunnya diceritakan pengalaman bermusik yang sudah mendarah daging dalam diri Amos Bardi.
Ia dapat mendengar dan merasakan suara-suara dalam alunan nada irama musik yang tak bisa dilihat dengan mata. Keterbatasan penglihatan membuat Ia tak malu meski perlakuan ketidakadilan kerap menghampiri dirinya.
Adegan yang paling menyedihkan yaitu saat Amos Bardi tak bisa melihat matahari dan ibunya (Luisa Ranieri) berlari untuk memeluknya karena saat itu Ia harus menjadi tuna netra.
Cerita dan latar tempat dalam film The Music of Silence cukup sukses menyentuh penonton. Iringan musik opera terdengar menggema sepanjang film.
Mungkin bagi kalian yang tidak suka opera hanya akan merasa suasana seperti di pemakaman atau alunan nadanya bisa membuat ngantuk. Tapi, film ini mampu membuka cakrawala dalam keheningan yang absolut.
Pesan yang disampaikan dalam film The Music of Silence masih relate dengan kondisi saat ini. Durasi hampir 2 jam mampu membuat penonton kembali menempatkan nilai-nilai kehidupan. Kita harus menerima keadaan meski ditengah keterbatasan.Â
Kita harus peka terhadap para penyandang disabilitas di luar sana. Cemooh atau hinaan tak pantas ditunjukkan kepada mereka. Para tuna netra juga tak pernah meminta belas kasihan.
Para penyadang disabilitas itu spesial. Mereka harus diberi ruang untuk aktualisasi diri dengan kemampuan yang mereka miliki. Semangat untuk berusaha terus tercermin dalam jalan hidup mereka dan bisa jadi inspirasi siapa saja.
Buat yang penasaran dengan kisah The Music of Silence, segera tonton secara legal di Mola TV Movies. Selain bisa diakses via website, Kompasianer juga bisa unduh di PlayStore atau AppStore. Saluran sekaligus layanan multiplatform televisi kabel ini memberi hiburan yang penuh inspirasi.
Terima kasih Amos Bardi karena kau telah memberi arti untuk setiap kata yang penonton dengar. Terima kasih Mola TV telah menghadirkan hiburan berisi di masa pandemi sehingga menyejukkan mata dan membuka hati nurani dari segala keterbatasan yang ada dalam hidup ini.Â
Kehidupan adalah cerita indah yang pantas dituturkan
Kehidupan adalah bentuk seni.
Jika tidak begitu, mungkin cuma untuk menerangi ruangan tempatnya ada.
Rahasianya adalah terus yakin.
Yakinlah pada rencana Tuhan.
yang muncul lewat tanda-tanda yang menuntun kita.
Kalau belajar mendengar, kau akan tahu
Bahwa tiap kehidupan bicara soal cinta.
Karena cinta kunci untuk segalanya.
Mesinnya dunia
Cinta adalah energi dibalik semua nada yang ditulis
Dan jangan lupa bahwa tidak ada istilah kebetulan
Itu cuma angan-angan orang-orang arogan dan ingkar
agar mereka bisa mengorbankan
Kenyataan dunia pada hukum-hukum nalar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H