Azis merebahkan badan di kasur nyaman yang ada di kamar kostnya yang kecil. Ia lihat telepon genggam sudah menunjukkan pukul 11.30 malam. Ia lupa tak memberi kabar pada orangtuanya hari itu.
Sejenak Ia masih ragu untuk menghubungi kedua orangtuanya. Rasa kesal di dasar hati masih berkecamuk dalam diri. Ia tetap tak bisa menerima perjodohan yang dilakukan oleh orangtuanya. Ia terlanjur cinta mati dengan Sabrina.
Hubungan jauh antar anak dan orangtua itu sudah cukup lama sebelum Ramadan. Masing-masing keras kepala. Disitulah tak pernah ada titik temu untuk bercengkerama. Azis masih ingat jelas saat ayahnya tak bisa mengontrol emosi. Ia merasa sudah dewasa dan punya pilihan sendiri untuk menentukan pasangan hidupnya.
Beberapa kali ada pesan masuk dari ayahnya, Ia tak pernah membalasnya. Pandangan matanya hanya tertuju pada percakapan dengan Sabrina karena hanya dia yang memberi perhatian dalam hidupnya.
Kesyahduan malam itu semakin merasuk. Angin dari luar jendela ikut masuk. Sejujurnya, ada sedikit rasa mengganjal dalam hati Azis. Tapi, Ia tak pernah tahu pasti karena sejurus Ia merasa sepi hari itu. Hanya ada rasa kosong tentang kehangatan dan kenyaman dari keluarga yang dirindukan.
Notifikasi percakapan dari Sabrina kembali berbunyi "Sayang, kapan kamu mau melamar aku? Papaku sudah bertanya terus setiap hari nih!!"
Azis tak berkutik. Ia semakin bingung ada rahasia apa yang disembunyikan semesta. Semua hanya bisa diam. Hatinya terasa samar untuk menerka siapa yang harus Ia pilih, sosok yang dicintainya atau si dia yang telah dipilihkan oleh ayahnya.
Telepon genggam bergetar kembali, tak sengaja jempol Azis menekan tombol dan membuka sebuah pesan yang tertulis:
"Nak, percayalah! Ayah selalu ingin memilihkan yang terbaik untukmu. Apapun pilihanmu kelak, kau tetaplah anakku!!"
Ia baca kata demi kata berulang. Ia tak paham betul apa maksudnya. Pikirannya semakin terbebani dengan dua sudut pandang yang berlainan. Apakah ayahnya sudah menyetujui pilihannya? Atau itu hanya taktik ayah untuk menyenangkan hati kecilnya.
Pandangan Azis mulai berubah. Ia melihat ada kotak kado yang masih terbungkus rapi di atas lemari. Kado itu diraihnya dan Ia ingat betul kalau kado itu dikirimkan oleh ayahnya saat ulang tahun. Ia pun membuka kado itu.
"Dasar Azis bodoh", desisnya saat melihat isi kado. Hatinya tiba-tiba sesak. Ia ragu untuk meluapkan marah terhadap dirinya sendiri. Pandangannya samar dan Ia sadar bahwa ada orang yang akan dikecewakan. Entah kenapa butiran bening menetes di pipi seolah ada rima diantara ambiguitas logika dan perasaan.