4. Cecak di Dinding
Dikomandoi oleh Cathy Sharon, fragmen ini menyajikan kisah yang paling nakal. Ada hubungan seks yang harus dilakukan antara Sophia Latjuba (Saras), Yama Carlos (Taja), dan Tio Pakusadewo (Irwan). Dari kisah mereka ada filosofi cecak di dinding yang tersirat.
Cecak di Dinding bercerita tentang hubungan sesaat antara Saras dan Taja. Meski singkat, hubungan tersebut meninggalkan kesan mendalam diantara keduanya. Hingga Taja harus terlatih patah hati karena Saras lebih memilih untuk menikah Irwan yang juga sahabatnya.
Ku berserah dalam ketakberdayaan. Berbahagia dengan satu impian. Dan satu kejujuranku. Ku ingin jadi cecak di dindingmu.
5. Hanya Isyarat
Disutradarai oleh Happy Salma, fragmen ini menghadirkan lima backpacker yang melakukan perjalanan bersama untuk menemukan sesuatu yang dicintai dalam hidupnya. Ada Amanda Soekasah (Al), Hamish Daud Wylie (Raga), Fauzi Baadila (Tano), Rangga Djoned (Bayu), dan Prianggadi Adiyatama (Dali). Mereka dipertemukan dan saling berbagi cerita hidup masing-masing.
Hanya Isyarat bercerita tentang lima traveler yang bersua. Al jatuh cinta dengan Raga, namun hanya sebatas mengirim isyarat saja dengan melihat punggungnya. Sampai suatu malam, mereka melakukan permainan di bar pinggir pantai untuk mengetahui jati diri dari masing-masing pribadi yang menjalani kisah kasih yang tak pernah sampai.
Aku sampai di bagian bahwa aku telah jatuh cinta. Namun, orang itu hanya dapat ku gapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang hadir sekelebat bagai bintang jatuh yang lenyap keluar dari bingkai mata sebelum tangan ini sanggup mengejar. Seseorang yang hanya bisa ku kirimi isyarat sehalus udara, langit, awan, atau hujan.
Film Rectoverso yang diproduksi oleh Keana Production memang sangat layak diapresiasi. Kemasan film ini bagai paket komplit yang penuh esensi. Masing-masing fragmen memiliki 5 bagian yang sayang untuk dilewatkan.
Namun, tim produksi masih belum bisa merajut benang merah dalam setiap fragmen yang mampu diikat sehingga menjadi sinkronisasi utuh. Adopsi gaya bertutur buku dan musik dibuat sangat tipis sehingga terasa membingungkan bagi awam. Biar bagaimanapun film tetap bertahan memberi pengaruh pada penonton untuk memaknai cinta dengan caranya sendiri.
Manis atau pahit cinta dalam film Rectoverso rasanya bisa dinikmati sepanjang masa. Jika penonton fokus menontonnya, maka film ini justru berhasil mengantarkan kisah cinta yang tak biasa. Ada cinta yang tak mampu diungkapkan sehingga penonton mudah terbawa pada kelemahan hati dan bersiap untuk ambyar. Pantas jika film Rectoverso mendapat penghargaan Jury Special Award dalam Asean International Film Festival & Awards (AIFFA) 2013 dan Market Prestige Screening untuk Festival De Cannes 2013 maupun Frankfurt Book Fair 2014.
Semoga saja tren film omnibus bisa hadir kembali di industri film local tahun ini. Banyak sineas muda dari kalangan independen bisa membuat kolaborasi untuk menghasilkan karya yang penuh inspirasi. Maju terus perfilman nasional kemarin, hari ini, sampai nanti!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H