Ada 3 manajemen krisis kepariwisataan berdasar efek bencana seperti marketing krisis yang mempengaruhi jumlah pengunjung, krisis sumber daya yang terindikasi dari wisatawan atas sebuah bencana, dan krisis infrastruktur terkait stabilitas destinasi untuk mengembalikan pada kondisi seperti sedia kala. Semoga saja krisis tersebut mampu diatasi Tourism Crisis Center (TCC) yang mengambil peran dalam pelayanan informasi dan penanganan wisatawan. Apalagi tugas utama dari pihak ini yaitu memantau 3A terkait atraksi, amenitas, dan aksesibilitas wisata.
 Ke depan, sejumlah program strategis juga dipersiapkan untuk bidang pengembangan destinasi pariwisata seperti pengembangan 10 Destinasi Pariwisata Prioritas (DPP), pengembangan 5.000 homestay, peningkatan aksesibilitas (sarana dan prasarana) di 10 DPP, peningkatan investasi dan pembiayaan pariwisata sebesar US$ 2.500 juta, penerapan Sustainable Tourism Development (STD) di 16 destinasi, pengembangan 10 Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata, pengembangan nomadic tourism di 10 DPP, dan perintisan destinasi pariwisata di sekitar 10 DPP. Program-program tersebut akan melirik potensi milenial sebagai segmentasi terbaik yang bergantung pada teknologi termasuk media sosial didalamnya. Semoga pengembangan ini tak hanya dilakukan sebagai konsep saja tetapi bisa saling berkesinambungan.
 Sementara untuk strategi yang akan dilakukan pada bidang pemasaran, Kementerian Pariwisata akan menerapkan pengembangan jurus jitu khusus sebagai inisiatif untuk mengkapitalisasi potensi masa depan industri pariwisata. Adapun tiga senjata pamungkas tahun 2019 telah disiapkan untuk menembak jumlah kunjungan wisatawan. Semua itu terdiri dari super extra ordinary efforts, extra ordinary efforts, dan ordinary efforts.
Bencana bisa berpengaruh positif maupun negatif terhadap pariwisata Indonesia. Pengaruh negatif muncul karena ada penurunan jumlah pengunjung, sementara pengaruh positif justru timbul saat bencana dijadikan sebagai komoditi wisata. Ada beberapa fakta unik di lapangan yang memang mempengaruhi permintaan industri pariwisata pasca bencana.
Lebih lanjut, semua pihak harus membuat sistem pengelolaan pengetahuan dan informasi bencana yang bisa dikomunikasikan dengan baik dan benar kepada wisatawan dan para pemangku kepentingan lainnya, seperti pekerja wisata dan penduduk lokal. Minimal, ada keharusan dalam pemasangan sistem peringatan dini risiko bencana.Â
Hal ini bertujuan agar korban jiwa bisa diminimalisir saat masa evakuasi dan kerusakan pada destinasi mampu dijalani saat masa pemulihan. Dengan begitu sebuah destinasi wisata akan mendapat manfaat dari sistem pengelolaan pengetahuan dan informasi yang digunakan untuk menangani bencana secara optimal.
ada jawabnya
Mengapa di tanahku terjadi bencana