Mohon tunggu...
Achmad Humaidy
Achmad Humaidy Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger -- Challenger -- Entertainer

#BloggerEksis My Instagram: @me_eksis My Twitter: @me_idy My Blog: https://www.blogger-eksis.my.id

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Boneka Sabrina, Medium Entitas Jahat dari Karya Film yang Pekat

27 Juli 2018   20:05 Diperbarui: 27 Juli 2018   20:13 1777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perkembangan film horor di Indonesia mulai menunjukkan taring. Entah karena acara KARMA di stasiun televisi yang viral atau sejak kemunculan remake Film Pengabdi Setan di tahun 2017 lalu yang melanglang buana diputar ke negara lain. Tahun 2018 ini bisa dipastikan setiap bulan ada film bergenre horor yang tayang dalam format layar lebar.

Seiring kuantitas yang tak terbatas, apakah kualitas film horor di Indonesia sudah memenuhi standar perfilman nasional?. Mungkin saja 'iya' jika tidak ada film maker yang menjual adegan esek-esek lagi. Apalagi film horor Indonesia sempat dicap hanya menonjolkan bagian dada dan paha dari sosok wanita.

Kondisi demikian yang ingin ditepis oleh kehadiran film Sabrina yang sudah menembus angka lebih dari 1 juta penonton. Produser Film Sabrina sempat mengutarakan bahwa film ini juga akan diedarkan ke pasar film Internasional, terkecuali negara Cina yang memang tidak memperbolehkan film horor untuk tayang di layar bioskop yang mereka punya. Tapi bagi penulis, jika film ini diedarkan ke luar Indonesia justru hanya akan menambah beban malu karena karya film tak mampu menunjukkan kualitas yang berkesinambungan.

Seperti film-film sebelumnya, The Doll, The Doll 2, dan Mata Batin memang kurang memiliki esensi sebagai film misteri berkualitas tinggi. Hal ini dipandang karena cerita dapat dengan mudah beradaptasi pada film horor Hollywood bertajuk Anabelle atau The Conjuring karya James Wan. Sah saja jika karya film Hitmaker Studios dikatakan tidak asal menjiplak.

Boneka Sabrina memang hadir dengan cara berbeda. Boneka ini dibuat menjadi banyak dan diperjualbelikan untuk mengenang anaknya yang telah meninggal. Aiden (Christian Sugiono) yang mewarisi industri milik ayahnya sekaligus suami dari Maira (Luna Maya) mulai memproduksi boneka Sabrina.

Pasangan itu mengangkat seorang anak wanita bernama Vanya (Richelle Georgette Skornicki) yang merupakan anak dari adik Aiden bernama Arka (Rizky Hanggono). Orangtua Vanya telah meninggal dunia. Meski sudah tinggal bersama Aiden dan Maira, Vanya sulit melupakan kasih ibu yang sudah berbeda alam dengannya.

Vanya mulai mengenal permainan baru yang dijuluki Pensil Charlie dari temannya di sekolah. Dari situ, Ia memutuskan untuk mengontak roh ibu kandungnya. Roh Ibu datang ke rumah dan menemani Vanya dalam setiap kesempatan bersama boneka Sabrina.

Kondisi demikian justru mengundang adegan kekejaman yang mengancam keutuhan nyawa dari masing-masing anggota keluarga. Mereka meminta pertolongan pada duo supranatural, Bu Laras (Sara Wijayanto) dan Pak  Raynard (Jeremy Thomas). Duo supranatural mulai membuka tabir bahwa ada iblis Baghiah yang memiliki kekuatan jahat dan merasuk pada boneka Sabrina.

Lama-kelamaan cerita film berkembang menjadi ajang balas dendam. Motif ambisi karena persaingan dalam keluarga mulai terbongkar. Semua bertaruh nyawa melawan iblis dalam adegan laga yang tak biasa. Akhir cerita, Aiden justru dipenjara karena telah bertindak jahat atas pembunuhan terencana dengan kerja sama terhadap dukun supranatural lain yang bersekutu dengan iblis.

Boneka Sabrina telah hadir sejak Film The Doll 2
Boneka Sabrina telah hadir sejak Film The Doll 2
Film Sabrina dinilai oleh netizen sebagai spin off dari Film The Doll 2. Meski kejadian yang seolah menakutkan dalam film ini seolah serba baru. Hanya cara pengungkapan dalam bahasa audio visual terbilang sama saja seperti film-film karya rumah produksi Hitmaker Studios lain.

Proses kerja kreatif sangat minim terbentuk sehingga unsur ketegangan tak lebih dari sajian tata suara yang sengaja dibuat keras. Penulis skenarion tak mengetahui batasan sudut pandang mana yang ingin diungkap. Sementara sutradara hanya melakukan repetitif unsur-unsur kelebihan film yang bisa menutupi kelemahan sehingga tak mampu eksekusi secara mumpuni.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun