Pertempuran demi pertempuran mengguncang semua tempat sejagad raya. Hingga adegan desintegrasi juga terjadi di Wakanda. Dengan operasional perangkat teknologi yang tertinggi, petualangan Vision, Black Widow, dan Captain America dimulai di kawasan tersebut. Mereka datang menyapa T'Challa atau Black Panther (Chadwick Boseman) yang tetap tenang meski jagat raya sudah terancam.
Beberapa upaya penyelamatan berhasil dilakukan. Namun, pahlawan menyerah karena tuntutan Thanos yang mampu mengumpulkan infinity stone terwujud. Konsekuensi utama pun muncul karena dari pertempuran yang telah terjadi harus ada jagoan yang dikorbankan dan mati.
Cerita film membagi jagoan idola kita ke dalam squad yang lebih kecil. Beberapa karakter terlihat logis seolah melakukan suatu reuni yang memang diinginkan para penonton. Namun, tak ada benang merah yang mampu mengikat cerita dengan kuat karena hanya ada satu atau dua sub plot yang menarik.
Cerita film semakin membingungkan karena kelompok super hero saling bertempur. Beberapa diantaranya masih berpikir berada di pihak Thanos. Super hero pun tak mampu menunjukkan kekuatan masing-masing karena alur terlalu padat. Karakter-karakter yang dicintai penonton mengalami kekalahan tak terhindarkan. Transisi antariksa juga menjadi semakin ganjil karena terasa tak berhasil menghiasi visual perpindahan pertempuran yang terjadi dari berbagai tempat.
Perjuangan para Avengers melawan ancaman besar tak mampu menyulap jajaran pahlawan tampil menguras emosi penonton. Tradisi film Marvel justru cenderung konyol belakangan ini. Ada intermeso dialog yang terselip saat para jagoan sedang melakukan pertempuran. Dialog itu tampak tidak penting seperti hanya menyatakan tentang cinta, senjata yang mereka gunakan, dan potongan rambut terbaru. Memang ini bisa menjadi ramuan segar agar film tidak tegang saat adegan pertarungan. Hanya penulis merasa terganggu dengan gurauan humor dalam keadaan serius yang sedang berlangsung pada adegan.
Lelucon terus berdatangan sejak awal ketika Thanos diperkenalkan melakukan kekerasan yang mengerikan. Cerita pun menjadi terbata-bata untuk disampaikan. Meski film tidak bergantung pada humor, namun unsur drama yang mengandung realitas justru menjadi semakin kecil sehingga sulit untuk dinikmati. Dengan bobot cerita seperti itu, film Avengers: Infinity War juga bisa dibilang tidak ramah anak.
Skenario dibabak awal sudah dipenuhi aksi yang banyak mengungkap teka-teki namun memberi jalan pada kesimpulan yang lebih lambat. Walau ada upaya mendorong karakter untuk penekanan emosi, namun eksposisi dan insiden nyaris tidak memberi ruang interaksi karakter yang saling membentuk kesatuan. Aksi terlalu melingkupi skala besar, luas, dan beragam sehingga penonton sulit untuk mengikuti.
Dibalik itu desain produksi tetap punya nilai tinggi. Efek CGI tidak bisa dibohongi. Adegan pertarungan masih menjadi bagian termahal dalam film ini. Keragaman mengemas kisah dan karakter memiliki tingkat produksi yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Imajinasi fiksi masih berada pada garis batas yang orisinal.
Interaksi antara Iron Man, Spider-Man, Doctor Strange, dan beberapa Guardian menjadi hal yang unik dalam film. Benedict Cumberbatch dan Robert Downey Jr. memiliki akting yang mumpuni. Namun, Tom Holland sebagai spiderman yang mengenakan modifikasi kostum terlihat kurang memuaskan. Penampilannya tak mampu menunjukkan kembali kekuatannya sebagai sosok jagoan yang pantas diidolakan.