Mohon tunggu...
Achmad Humaidy
Achmad Humaidy Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger -- Challenger -- Entertainer

#BloggerEksis My Instagram: @me_eksis My Twitter: @me_idy My Blog: https://www.blogger-eksis.my.id

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Danur 2 Maddah, Kualitas Film Horor Indonesia yang Tidak Menakutkan

9 April 2018   12:30 Diperbarui: 9 April 2018   22:32 5073
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: kompas.com/andy muttia keteng

Sejak tanggal 28 Maret 2018, jaringan bioskop mulai dihantui oleh salah satu sekuel film horor Indonesia yang bertajuk Danur 2: Maddah. Kontroversi film Danur masih terus berlanjut karena tahun lalu film ini justru berada diperingkat 4 dari 10 besar peringkat film terlaris dengan 2.736.157 penonton.

Padahal banyak pembaca setia novel Danur yang menganggap cerita begitu melenceng antara buku dan film. Begitu juga dengan para penikmat horor yang sudah memiliki standar tinggi melalui Film Pengabdi Setan sebagai tolak ukur kesuksesan jump scare. Film Danur 2: Maddah pun terlihat akan bernasib sama seperti prekuelnya.

Risa Saraswati (Prilly Latuconsina) tinggal bersama adik yang bernama Riri (Sandrinna Michelle Skornicki) karena ibunya menemani bapaknya dinas ke luar negeri. Risa memiliki kemampuan melihat hantu atau yang dikenal dengan istilah indigo. Kebiasaan Risa yang bicara sendiri hingga histeris di tempat umum sering membuat Riri malu.

Riri tidak tahu bahwa Risa memiliki 3 sahabat bernama Peter (Gamaharitz), William (Alexander Bain), dan Jhansen (Kevin Bzezovski). Dalam sekuelnya, Risa juga bertemu dua hantu anak kecil lain yang ingin bermain dengannya bernama Hans (Justin Rossi) dan Hendrick (Matt White).

Untuk membunuh sepi, Risa dan Riri menginap di rumah Om Ahmad (Bucek Depp) dan Tante Tina (Sophia Latjuba). Om Ahmad bersama istri dan anaknya, Angki (Shawn Adrian) baru saja pindah ke Bandung. Tidak ada teror di rumah itu pada awalnya.

Ternyata, Om Ahmad tertaut hatinya pada makhluk halus yang berwujud nona Belanda bernama Elizabeth. Hubungan dengan istrinya pun terganggu. Anaknya juga menaruh kecurigaan ada sesuatu yang tidak beres di rumah mereka apalagi ayahnya mulai bertingkah tidak wajar termasuk menanam bunga sedap malam di pekarangan rumah.

Ketenangan Risa mulai terusik. Risa bisa merasakan hal itu, tapi aneh Ia tidak bisa melihat apapun. Justru dia hanya melihat Om Ahmad pergi bersama wanita lain. Siapa dia? Apa dia ada keterkaitan dengan semua keanehan yang terjadi di rumah? Benarkah Om Ahmad selingkuh dengan makhluk halus?

Demi mengetahui kebenaran dibalik peristiwa ini, Risa mulai mengorek informasi mengenai si wanita misterius tersebut. Akan tetapi, upaya untuk mendapat informasi senantiasa mengalami hambatan karena ada kekuatan jahat yang entah darimana berasal terus memancar kuat di rumah kerabatnya dan tidak segan melukai para penghuni rumah.

Sejak prekuel sampai sekuel, film Danur gagal menerjemahkan judul ke dalam bahasa audio visual. Danur yang berarti bau mayat tidak pernah terjelaskan secara rinci menghiasi adegan demi adegan sepanjang durasi. Hanya ada adegan yang menempel saat Risa nyasar di rumah sakit dan menemukan kamar jenazah. Seorang perias mayat berkata "Ini bau Danur, tapi sepertinya kamu sudah tidak asing lagi...". Adegan pun terlepas pada unsur cerita utama, penonton hanya dijelaskan sekilas tentang bau yang dikenal sebagai cairan yang keluar dari mayat membusuk. Seharusnya judul bisa representasi fokus cerita, namun aroma-aroma kekecewaan justru tercium dari para pencinta film Indonesia setelah menonton film ini.

Cerita dituding sebagai kisah nyata. Diangkat dari novel berjudul sama yang terbit di tahun 2012 dengan kisah pengalaman hidup seorang novelis bernama Risa Saraswati. Konon Maddah artinya "dibaca panjang" merupakan kata yang disadur dalam bahasa Arab. Karya novel pun tampak lebih bagus dibanding filmnya karena bahasa sinematik tak mampu membuat cerita semakin evokatif. Meski dalam sekuel ini, Risa sebagai penulis skenario dibantu oleh Lele Laila.

Maddah tidak memiliki konflik yang begitu terasa menakutkan. Saat konflik keluarga tampil, hanya Angki yang terlihat khawatir akan keutuhan keluarga. Padahal banyak peluang dari sisi naskah untuk lebih eksploitasi drama demi membangkitkan emosi penonton agar merasakan aura mistisnya. Di menit-menit pertama pun tempo terasa lambat sehingga pergantian waktu tidak terasa jelas hingga akhir cerita.

Babak awal tidak dimanfaatkan untuk preambul karakter kepada penonton supaya relate ke dalam cerita. Hubungan Risa dengan kawan-kawan hantu tidak pernah diungkap secara mendalam. Tidak ada kontribusi cerita yang senada sehingga penonton sulit mengenal ikatan diantara mereka. Sepanjang durasi juga tidak ada momen Elisabeth dan Ivanna muncul bersama. Pergeseran karakter makhluk halus tersebut menimbulkan perbedaan pendapat karena tidak ada kedalaman karakter yang signifikan sejak awal. Karakterisasi dalam film Danur 2: Maddah terasa tidak memiliki pembentukan yang layak.

Akhir cerita dibuat kaku karena makhlus halus hanya kalah sebagai akibat dari sobekan buku diary (catatan harian) hantu tersebut. Sungguh penyelesaian yang tidak ada tantangan sehingga membuat film semakin tidak elegan apalagi diklaim based on true story.

Trik menakut-nakuti (jump scare)juga terbilang receh sehingga hanya berupaya mengagetkan siapa saja saat berada di bangku penonton. Ada unsur pintu dan hal-hal sederhana seperti api kompor menyala yang mampu memberi efek ketegangan. Namun, semua itu tidak mampu terakumulasi ke dalam plot yang berisi. Penonton hanya diberi narasi yang mungkin tidak akan terngiang dalam ingatan setelah menonton film ini.

Saat mengungkap kisah horor, penulis skenario harus memperhatikan jalan cerita. Hal ini harus dilakukan karena ada beberapa penonton yang memang tidak percaya dengan makhluk gaib atau hal-hal yang bersifat takhayul. Apalagi film ini tidak ada kemajuan untuk membuat penonton peduli terhadap karakter-karakter yang ada. Menakut-nakuti penonton masih menjadi formula horor sang sutradara dalam menggarap versi sekuel yang masih berada di bawah naungan rumah produksi MD Pictures dan Pichouse Films.

Prilly Latuconsina sebagai Risa sedang berjalan di rumah sakit
Prilly Latuconsina sebagai Risa sedang berjalan di rumah sakit
Sutradara masih dipercayakan kepada Awi Suryadi. Sensitivitas pengadeganan masih tampak mengganggu unsur sinematik. Jejak langkah teror tidak terhubung dalam relevansi yang jelas. Ada adegan mimpi berulang kali dialami oleh Risa. Seharusnya adegan ini bisa membangun konstruksi menakutkan sebelum hantu itu muncul. Nyatanya atmosfer tersebut justru mengusik rasa nyaman penonton.

Dari segi pencahayaan, penata cahaya membuat nuansa Maddah lebih gelap dibanding prekuelnya. Lampu kelap-kelip menjadi pilihan untuk mengangkat nuansa horor. Hanya di beberapa bagian justru terlihat mencekam yang berlebihan sehingga penonton sudah kebal melihat latar yang sudah di set sedemikian rupa. Sebagai contoh rumah sakit diterangi dengan lampu yang tampak korslet dan nuansa lorong yang begitu sepi. Bisa jadi latar itu hanya kontrakan yang disewa untuk syuting film. Hal ini sangat mengganggu dan mengacaukan visual.

Musik keras juga tergolong rumusan basi dalam meracik film horor yang mengharapkan ketakutan dari penonton. Musik yang dihadirkan dalam Maddah identik dengan natural sound dan berupaya mendekati penonton untuk merasakan apa yang ada di set. Sayang musik yang berasal dari biola rusak dan piano tak punya daya untuk menghentak kuat. Iringan musik tak peka membentuk adegan menjadi lebih seram.

Padahal lagu 'Boneka Abdi' cukup misterius. Apalagi saat dimainkan melalui irama pada piano yang ditekan. Konon lagu ini dikenal dengan judul Story Of Peter yang bercerita tentang sahabat hantu pada masanya yang memang digemari oleh anak-anak Belanda yang dulu pernah tinggal di Hindia Belanda atau sekarang disebut Indonesia. Lagu ini seolah menjadi mantra  untuk memanggil makhluk halus itu datang.

Jika melihat pemeranan, bakat Prilly Latuconsina dengan performa matang justru hanya terasa dimanfaatkan. Naskah menghalanginya untuk aktualisasi akting lebih berkembang. Kegundahan hati Risa tak mampu memberi simpati kepada penonton film ini. Prilly tidak bisa berimprovisasi lebih dalam.

Meski saat adegan kesurupan, Ia bisa mendapat pujian. Namun, kostum piyama yang dikenakan saat mau tidur tampak tidak sesuai realita. Seolah gaun putih panjang yang tampak bagai kostum kuntilanak itu sudah dipersiapkan oleh Angelia Florensia.

Untung saja deretan hantu yang menjelma sebagai penunggu rumah terbantu oleh tata rias dari hasil riasan Maria Margaretha Earlene. Wajah pucat dengan elemen horor yang khas memang memberi ketakutan tersendiri. Penonton pun enggan menatap mereka lebih lama.

Selain itu semua kinerja departemen kamera dari Adrian Sugiono layak mendapat pujian. Visual mengantar penonton ke dalam nuansa "ada sesuatu yang tidak beres di sekitar". Ada sudut kemiringan gambar yang berani ketika ada karakter memeriksa suara-suara misteri yang memberi motivasi ngeri. Kamera juga jelas menampilkan hantu di layar dengan efek mengerikan. Meski beberapa penonton mungkin akan mengira jika teknik tersebut masuk ke dalam disturbing angle.

Tidak hanya dari segi pengambilan gambar, Opay Blaze juga memberi ruang untuk latar tempat mewah dengan rasa mencekam. Setting rumah dibuat lebih kuno agar penonton mendapat atmosfer dan yakin ada penampakan di sekitar rumah. Pavilion yang misterius sebagai tempat ritual om Ahmad berhasil menyimpan misteri dari segi artistik.

Saran penulis jika memang film ini akan dibuat versi ketiga, film harus bercerita tentang hakikat Risa yang bisa berteman dengan hantu dan menjalani kehidupan diantara dua dunia. Semoga ada penerawangan yang memanjakan penonton dengan motivasi dan plot yang menghadirkan wahana jump scare tanpa penggarapan standar. Sayang jika potensi yang ada pada 'danur' hancur lebur oleh cerita yang terkesan delusi semata.

Meski materi paling manis masih dipegang oleh Prilly Latuconsina yang menjadi magnet Danur untuk menjangkau penonton di bioskop. Fan fanatik Prilly yang didominasi kalangan remaja sebagai target besar penonton bioskop juga menjadi tolak ukur penayangan film ini yang sudah ditonton oleh 1.616.919 orang. Akankah film Danur 2: Maddah lebih sukses dari prekuelnya?

"Apa yang tidak terlihat bukan berarti tidak ada."

www.kompas.com
www.kompas.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun