Hari Film Nasional 2018 telah diperingati tanggal 30 Maret. Semua pihak yang selalu mendukung perfilman lokal bersama menyongsong perkembangan film Indonesia untuk menjadi corong dalam mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya toleransi dalam menyikapi perbedaan dan keanekaragaman budaya Indonesia. Film pun dituding sebagai sarana yang mentransmisi dan mewariskan cara serta pola berpikir dari suatu generasi ke generasi penerusnya.
Film menjadi media yang efektif, khususnya bagi kalangan muda yang lebih menyukai segala bentuk yang berhubungan dengan konsep audio visual. Gambar bergerak tersebut mampu menghipnotis penonton dan bisa menanamkan berbagai nilai yang ingin disampaikan para sineas. Berarti, film bisa membangun mental bangsa secara luas.
Film Nasional tidak bisa berdiri sendiri karena sudah menjadi bagian dari industri yang memberi dampak publik secara luas dalam hal penyebaran informasi dan komunikasi. Apalagi kita sering mendengar tagline "Jadikan film Indonesia sebagai tuan rumah di negeri sendiri!". Untuk mewujudkan hal itu, film harus dilihat oleh semua stakeholder agar ada konsolidasi kekuatan yang berani mengembangkan ekosistem industri perfilman nasional.
1. Pemerintah
Peran regulator yang dimainkan oleh Pemerintah harus terus dijalankan sesuai dengan tujuan pembangunan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, mensejahterakan kehidupan masyarakat, dan bagian dari diplomasi budaya untuk perdamaian dunia. Revolusi mental yang digaungkan sejak awal oleh Presiden Jokowi harus berkesinambungan dengan tujuan tersebut.
Sesuai dengan nawacita Bapak Presiden Republik Indonesia juga telah ditargetkan pemerataan pendidikan dan hiburan di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini sejalan dengan UU Republik Indonesia No. 33 tahun 2009 tentang Perfilman. Pada Bab V pasal 51 dinyatakan bahwa kewajiban, tugas, dan wewenang Pemerintah baik pusat maupun daerah harus memfasilitasi pengembangan dan kemajuan perfilman, memberikan bantuan pembiayaan apresiasi film, dan memfasilitasi pembuatan film untuk pemenuhan ketersediaan kuantitas film Indonesia.
Pemerintah yang bertanggung jawab terhadap perkembangan film nasional tidak hanya terpaku pada pusat. Jajaran seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pariwisata, Kementerian Komunikasi dan Informasi, Badan Ekonomi Kreatif, dan sektor lain juga harus mengambil peran untuk menyeimbangkan kolaborasi yang tercipta. Pihak dari pemerintah daerah juga harus berupaya minimal ikut memproduksi satu film dalam setahun untuk mengangkat cerita tentang potensi yang ada didaerahnya. Jika semua terlibat, film tidak akan dipandang sebagai karya eksklusif yang hanya dapat dinikmati oleh warga kota saja.
Supaya kecintaan terhadap film Indonesia tumbuh, para insan perfilman juga harus meningkatkan kualitas film nasional itu sendiri. Masih ada dikotomi yang berkembang, jika film berkualitas belum tentu laris. Begitu juga sebaliknya, film laris dengan jumlah penonton terbanyak belum bisa disebut berkualitas.
Banyak sineas yang memproduksi film seadanya sehingga mengabaikan cerita dan sinematografi yang tidak dipercaya sebagai unsur yang harus disempurnakan. Eksperimen yang diajukan oleh rumah poduksi seakan memaksa mereka untuk mendompleng profit demi karya film yang tidak berisi. Aktor dan aktris yang berperan hanya itu-itu saja juga menjadi alibi penonton semakin bosan terhadap film nasional. Dinamika tersebut menghancurkan selera publik terhadap pasar film nasional itu sendiri.
Sudah selayaknya ada rumusan film yang berkualitas dan menjual. Minimal, film tersebut memiliki makna pesan dengan daya tarik komersial. Seperti film Laskar Pelangi di tahun 2008 yang memiliki unsur nilai pendidikan kuat, berkarakter, dan bisa laku dipasaran. Film Laskar Pelangi juga berhasil meraih film terbaik di Festival Film Asia Pasifik (FFAP) ke-53 di Kaohsiung, Taiwan dan meraih The Golden Butterfly Award sebagai film terbaik pada International Festival of Films for Children & Young Adults di Hamedan, Iran.
Sineas perfilman juga bisa belajar dari negara Cina, Jepang, Korea, India, dan Thailand yang terbukti bisa memenangkan film lokal di negaranya sendiri hingga bisa merambah pasar internasional. Kualitas film yang mereka produksi memiliki relevansi terhadap kehidupan sehari-hari. Mereka menciptakan film dengan menggali keunggulan daerah masing-masing melalui tema seni, budaya, dan sejarah.
Percayalah, Indonesia itu kaya kearifan lokal. Banyak hal-hal sederhana yang mampu ditampilkan secara audio visual demi mendukung perfilman nasional. Ragam budaya yang unik dan tradisi yang menarik mampu terpadu dalam wujud karya kreatif berupa film yang inspiratif.
Film-film bermuatan lokal diharapkan dapat mendorong pertumbuhan bioskop-bioskop di daerah yang akhirnya akan berdampak positif untuk perekonomian daerah tersebut. Dana APBD pun bisa dikelola untuk memulihkan kembali industri perfilman nasional.
Untuk itu, kualitas dan kuantitas film nasional yang mengandung nilai kearifan lokal harus semakin meningkat setiap tahunnya. Kondisi demikian bisa menjadi tren film nasional yang dibawa ke ajang festival film internasional. Tingkatkan produktivitas dalam jumlah besar diimbangi dengan kualitas konten yang berbobot.
Dari salah satu artikel PusBang Film KemDikBub yang pernah penulis baca, pada tahun 2016 tercatat 286 kru film asing yang masuk ke Indonesia. Mereka sangat tertarik dengan kearifan lokal, terkait tempat maupun budayanya. Lantas, mengapa kita sebagai sineas lokal tak tertarik dengan kekayaan sendiri?
Industri kreatif seperti bioskop hanya menyajikan kepada penonton film-film komersil yang sudah diproduksi. Publik pun  mengenal jaringan bioskop yang sering menjadikan film asing sebagai anak emas, sementara film nasional sebagai anak tiri.
Seharusnya keberpihakan pihak bioskop yang juga dimiliki oleh para pengusaha yang berasal dari Indonesia harus terus memberi porsi, minimal 60:40. Pernyataan ini sudah tertuang dalam Undang-undang (UU) Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman yang menyatakan bahwa "Pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60% (enam puluh persen) dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama 6 (enam) bulan berturut-turut"(Pasal 32). Hanya saja regulasi yang dibuat belum dijalankan secara pasti.
Peradaban pasar bebas memang bisa dijalankan, tapi kita harus mengakui ada produk film nasional yang menjadi prioritas utama. Film Indonesia harus mendapat jumlah layar lebih banyak dibanding film asing. Sudah saatnya bioskop bekerja sama dengan produser atau distributor film lokal untuk menarik minat penonton melalui gimmick, baik yang bersifat online maupun offline. Penyebaran informasi harus terus dilakukan mulai dari launching teaser, trailer, press screening, gala premiere, dan nonton bareng bersama para pemeran film tersebut.
Bioskop itu akan menjadi salah satu sarana yang tidak cepat punah karena pengalaman menonton secara bersama belum mampu tergantikan oleh teknologi dari segi interaksi sosial. Untuk itu, jaringan bioskop di Indonesia juga harus menjangkau pelosok daerah. Berikan warga lokal ruang untuk menonton, minimal melalui program bioskop keliling. Jangan sampai pembajakan terhadap film justru terjadi sebagai akibat pihak-pihak tak bertanggung jawab yang menjual dan mengedarkan film nasional ke daerah tersebut.
Penonton zaman now disebut juga sebagai penikmat atau pengamat film. Partisipasi publik diperlukan agar memilih tontonan film yang memiliki unsur positif didalamnya. Usahakan menonton film Indonesia di hari pertama. Kenapa? Karena kalau hari pertama sepi penonton, maka film lokal dianggap tidak laku dan langsung diturunkan dari layar bioskop. Jadi, hari pertama akan menentukan apakah film lokal akan tayang lebih lama atau turun layar dari bioskop. Jangan tunda lagi untuk menonton film nasional di hari pertama!.
Penulis juga berharap agar penonton film Indonesia semakin cerdas dalam memilih mana film yang baik untuk ditonton dengan kualitas cerita dan promosi tepat. Lihat film-film nasional yang  memiliki fungsi sebagai cerminan budaya dan sebagai alat propaganda untuk menyampaikan kearifan lokal. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menangkal penetrasi budaya asing.
Lebih lanjut industri film nasional harus lebih dekat dengan teknologi. Hal ini didasari karena persaingan film lokal dan film asing sering terjadi. Manfaatkan juga platform-platform digital yang memiliki peran besar sebagai strategi pendekatan ke pasar film atau penonton seperti Netflix dan platform lainnya.
Ciptakan rasa saling membutuhkan atau ketergantungan dari semua pihak yang terlibat. Film pun akan dipandang sebagai media audio visual yang menarik, mudah dicerna, dan secara langsung merasuk ke pikiran dan jiwa siapa saja. Apalagi era digital sangat lekat dengan teknologi sehingga film disinyalir mampu menumbuhkan pendidikan berkarakter bagi bangsa Indonesia.
Tantangan-tantangan tersebut harus dilalui semua elemen agar gairah perfilman Indonesia bisa memiliki sinergi dan sinkronisasi semua pihak. Ada jalinan yang harus dilakukan secara berkelanjutan untuk mewadahi produksi film lokal.
Jangan cuma jadikan perayaan Hari Film Nasional sebagai ajang seremonial belaka karena perayaan Hari Film Nasional bukan untuk mengenang kejayaan masa lalu, tapi untuk menyongsong optimisme masa depan perfilman Indonesia agar semakin jaya. Semoga geliat perfilman Indonesia bisa terus diapresiasi karyanya sehingga dapat memperkuat ketahanan budaya lokal dan membuktikan eksistensi perfilman Indonesia di mata dunia.
Bukan hanya sebagai media hiburan, film harus memenuhi unsur nilai-nilai kultural edukatif yang mencerdaskan kehidupan bangsa, membangun karakter, meningkatkan ketahanan budaya, dan mensejahterakan masyarakat. Mari jadikan ekosistem perfilman Indonesia yang saling berkolaborasi sehingga tidak hanya berorientasi bisnis melainkan suatu hasil karya yang layak diapresiasi sepanjang masa. Selamat Hari Film Nasional ke 68!
Sudahkah kamu menontonfilm Indonesiahari ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H