Sineas perfilman juga bisa belajar dari negara Cina, Jepang, Korea, India, dan Thailand yang terbukti bisa memenangkan film lokal di negaranya sendiri hingga bisa merambah pasar internasional. Kualitas film yang mereka produksi memiliki relevansi terhadap kehidupan sehari-hari. Mereka menciptakan film dengan menggali keunggulan daerah masing-masing melalui tema seni, budaya, dan sejarah.
Percayalah, Indonesia itu kaya kearifan lokal. Banyak hal-hal sederhana yang mampu ditampilkan secara audio visual demi mendukung perfilman nasional. Ragam budaya yang unik dan tradisi yang menarik mampu terpadu dalam wujud karya kreatif berupa film yang inspiratif.
Film-film bermuatan lokal diharapkan dapat mendorong pertumbuhan bioskop-bioskop di daerah yang akhirnya akan berdampak positif untuk perekonomian daerah tersebut. Dana APBD pun bisa dikelola untuk memulihkan kembali industri perfilman nasional.
Untuk itu, kualitas dan kuantitas film nasional yang mengandung nilai kearifan lokal harus semakin meningkat setiap tahunnya. Kondisi demikian bisa menjadi tren film nasional yang dibawa ke ajang festival film internasional. Tingkatkan produktivitas dalam jumlah besar diimbangi dengan kualitas konten yang berbobot.
Dari salah satu artikel PusBang Film KemDikBub yang pernah penulis baca, pada tahun 2016 tercatat 286 kru film asing yang masuk ke Indonesia. Mereka sangat tertarik dengan kearifan lokal, terkait tempat maupun budayanya. Lantas, mengapa kita sebagai sineas lokal tak tertarik dengan kekayaan sendiri?
Industri kreatif seperti bioskop hanya menyajikan kepada penonton film-film komersil yang sudah diproduksi. Publik pun  mengenal jaringan bioskop yang sering menjadikan film asing sebagai anak emas, sementara film nasional sebagai anak tiri.
Seharusnya keberpihakan pihak bioskop yang juga dimiliki oleh para pengusaha yang berasal dari Indonesia harus terus memberi porsi, minimal 60:40. Pernyataan ini sudah tertuang dalam Undang-undang (UU) Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman yang menyatakan bahwa "Pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60% (enam puluh persen) dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama 6 (enam) bulan berturut-turut"(Pasal 32). Hanya saja regulasi yang dibuat belum dijalankan secara pasti.
Peradaban pasar bebas memang bisa dijalankan, tapi kita harus mengakui ada produk film nasional yang menjadi prioritas utama. Film Indonesia harus mendapat jumlah layar lebih banyak dibanding film asing. Sudah saatnya bioskop bekerja sama dengan produser atau distributor film lokal untuk menarik minat penonton melalui gimmick, baik yang bersifat online maupun offline. Penyebaran informasi harus terus dilakukan mulai dari launching teaser, trailer, press screening, gala premiere, dan nonton bareng bersama para pemeran film tersebut.
Bioskop itu akan menjadi salah satu sarana yang tidak cepat punah karena pengalaman menonton secara bersama belum mampu tergantikan oleh teknologi dari segi interaksi sosial. Untuk itu, jaringan bioskop di Indonesia juga harus menjangkau pelosok daerah. Berikan warga lokal ruang untuk menonton, minimal melalui program bioskop keliling. Jangan sampai pembajakan terhadap film justru terjadi sebagai akibat pihak-pihak tak bertanggung jawab yang menjual dan mengedarkan film nasional ke daerah tersebut.