Mohon tunggu...
Achmad Humaidy
Achmad Humaidy Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger -- Challenger -- Entertainer

#BloggerEksis My Instagram: @me_eksis My Twitter: @me_idy My Blog: https://www.blogger-eksis.my.id

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kolaborasi Pemerintah, Sineas, Bioskop, dan Penonton demi Ekosistem Film Nasional

5 April 2018   22:02 Diperbarui: 30 Maret 2021   12:26 1944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Film Nasional 2018 telah diperingati tanggal 30 Maret. Semua pihak yang selalu mendukung perfilman lokal bersama menyongsong perkembangan film Indonesia untuk menjadi corong dalam mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya toleransi dalam menyikapi perbedaan dan keanekaragaman budaya Indonesia. Film pun dituding sebagai sarana yang mentransmisi dan mewariskan cara serta pola berpikir dari suatu generasi ke generasi penerusnya.

Film menjadi media yang efektif, khususnya bagi kalangan muda yang lebih menyukai segala bentuk yang berhubungan dengan konsep audio visual. Gambar bergerak tersebut mampu menghipnotis penonton dan bisa menanamkan berbagai nilai yang ingin disampaikan para sineas. Berarti, film bisa membangun mental bangsa secara luas.

Film Nasional tidak bisa berdiri sendiri karena sudah menjadi bagian dari industri yang memberi dampak publik secara luas dalam hal penyebaran informasi dan komunikasi. Apalagi kita sering mendengar tagline "Jadikan film Indonesia sebagai tuan rumah di negeri sendiri!". Untuk mewujudkan hal itu, film harus dilihat oleh semua stakeholder agar ada konsolidasi kekuatan yang berani mengembangkan ekosistem industri perfilman nasional.

1. Pemerintah

Peran regulator yang dimainkan oleh Pemerintah harus terus dijalankan sesuai dengan tujuan pembangunan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, mensejahterakan kehidupan masyarakat, dan bagian dari diplomasi budaya untuk perdamaian dunia. Revolusi mental yang digaungkan sejak awal oleh Presiden Jokowi harus berkesinambungan dengan tujuan tersebut.

Sesuai dengan nawacita Bapak Presiden Republik Indonesia juga telah ditargetkan pemerataan pendidikan dan hiburan di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini sejalan dengan UU Republik Indonesia No. 33 tahun 2009 tentang Perfilman. Pada Bab V pasal 51 dinyatakan bahwa kewajiban, tugas, dan wewenang Pemerintah baik pusat maupun daerah harus memfasilitasi pengembangan dan kemajuan perfilman, memberikan bantuan pembiayaan apresiasi film, dan memfasilitasi pembuatan film untuk pemenuhan ketersediaan kuantitas film Indonesia.

Pemerintah yang bertanggung jawab terhadap perkembangan film nasional tidak hanya terpaku pada pusat. Jajaran seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pariwisata, Kementerian Komunikasi dan Informasi, Badan Ekonomi Kreatif, dan sektor lain juga harus mengambil peran untuk menyeimbangkan kolaborasi yang tercipta. Pihak dari pemerintah daerah juga harus berupaya minimal ikut memproduksi satu film dalam setahun untuk mengangkat cerita tentang potensi yang ada didaerahnya. Jika semua terlibat, film tidak akan dipandang sebagai karya eksklusif yang hanya dapat dinikmati oleh warga kota saja.

Pemerintah memiliki program peningkatan kompetensi insan perfilman nasional dalam bentuk pelatihan, lokakarya, seminar, dan beasiswa pendidikan formal perfilman
Pemerintah memiliki program peningkatan kompetensi insan perfilman nasional dalam bentuk pelatihan, lokakarya, seminar, dan beasiswa pendidikan formal perfilman
2. Sineas

Supaya kecintaan terhadap film Indonesia tumbuh, para insan perfilman juga harus meningkatkan kualitas film nasional itu sendiri. Masih ada dikotomi yang berkembang, jika film berkualitas belum tentu laris. Begitu juga sebaliknya, film laris dengan jumlah penonton terbanyak belum bisa disebut berkualitas.

Banyak sineas yang memproduksi film seadanya sehingga mengabaikan cerita dan sinematografi yang tidak dipercaya sebagai unsur yang harus disempurnakan. Eksperimen yang diajukan oleh rumah poduksi seakan memaksa mereka untuk mendompleng profit demi karya film yang tidak berisi. Aktor dan aktris yang berperan hanya itu-itu saja juga menjadi alibi penonton semakin bosan terhadap film nasional. Dinamika tersebut menghancurkan selera publik terhadap pasar film nasional itu sendiri.

Sudah selayaknya ada rumusan film yang berkualitas dan menjual. Minimal, film tersebut memiliki makna pesan dengan daya tarik komersial. Seperti film Laskar Pelangi di tahun 2008 yang memiliki unsur nilai pendidikan kuat, berkarakter, dan bisa laku dipasaran. Film Laskar Pelangi juga berhasil meraih film terbaik di Festival Film Asia Pasifik (FFAP) ke-53 di Kaohsiung, Taiwan dan meraih The Golden Butterfly Award sebagai film terbaik pada International Festival of Films for Children & Young Adults di Hamedan, Iran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun