Mohon tunggu...
Achmad Humaidy
Achmad Humaidy Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger -- Challenger -- Entertainer

#BloggerEksis My Instagram: @me_eksis My Twitter: @me_idy My Blog: https://www.blogger-eksis.my.id

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kisah Cinta yang Terhalang Perbedaan Kasta

25 Januari 2018   01:55 Diperbarui: 25 Januari 2018   02:19 2189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pamflet Film Silariang

Film-film yang mengandung kearifan lokal butuh produser yang berani membawa karya mereka ke kancah nasional hingga internasional. Para produser yang anti mainstream harus berani berkomitmen dan konsisten untuk mengangkat karya dari tradisi lokal. Hal ini didasari atas tradisi-tradisi yang menjadi bagian dari budaya itu sendiri sehingga tidak hanya berkembang di dalam lingkaran itu saja.

Ichwan Persada sebagai produser film Silariang: Cinta yang (Tak) Direstui berhasil memperjuangkan film ini untuk dinikmati tayang seantero negeri. Sebagai seorang produser, Ia mampu melihat kearifan lokal sebagai tema cerita film yang membumi. Meski harus meyakinkan para investor yang masih berpikir panjang akan persaingan dalam komersialisasi industri.

Ini bukan film perdana yang diproduserinya, Ia juga pernah memproduksi film Cerita Dari Tapal Batas,Hijaber in Love,dan MIRACLE:Jatuh Dari Surga. Namun, Film Silariang mampu membuktikan kepada publik bahwa Ia cinta dengan latar budaya Bugis yang begitu kuat. Wajar saja karena memang produser film ini merupakan keturunan dari Makassar.

Film Silariang yang diproduksi oleh Inipasti Communika bekerjasama dengan  Indonesia Sinema Persada bagai pintu masuk terbaik untuk lebih mengenal kearifan lokal melalui media film. Kearifan lokal itu sudah seharusnya menjadi kekuatan perfilman nasional.

Indonesia dikenal terdiri dari banyak budaya. Punya banyak cerita yang tak pernah habis untuk diangkat ke layar lebar. Pengolahan cerita yang menarik dipadupadan dengan keindahan alam dan keindahan ciri khas pakaian serta bangunan adat mampu menjadi ide terbaik. Apresiasi patut diberikan pada sineas-sineas Sulawesi Selatan yang terus mengangkat cerita yang menjunjung tinggi tradisi.

Mungkin bagi masyarakat Makassar, mereka anggap cinta itu rumit apalagi jika harus siap menuju gerbang pernikahan. Terutama bagi mereka yang masih memandang kasta untuk mempertahankan prestise keluarga. Ada cinta yang tak direstui.

Berkisah tentang cinta dua anak manusia bernama Yusuf (Bisma Karisma) dan Zulaikha (Andania Suri). Yusuf tampil sebagai tokoh yang berkecukupan, namun hanya golongan dari rakyat biasa. Ia dianggap tak layak meminang Zulaikha yang keturunan bangsawan Bugis.

Perasaan cinta diantara keduanya tulus namun ada tembok besar yang menghalangi cinta suci. Atas nama cinta hubungan mereka tetap dipertahankan meski tidak ada restu dari orang tua.

"Kalau sama dia, ndak ku restui ko. Jammo ko tanya kenapa."

Ancaman Puang Rabiah (Dewi Irawan) bagai martil besar yang menghujam hati Zulaikha. Ia sadar bahwa hubungan dengan Yusuf yang telah terjalin selama bertahun-tahun lama tak bisa mendapat restu dari ibunya.

Bahkan ketika Pak Dirham (Muhary Wahyu Nurba), ayah Yusuf mengutus adiknya untuk memberitahu niat baik dari keluarganya. Tetap saja permintaan itu ditolak. Puang Ridwan (Sese Lawing) bahkan tampak congkak ketika menolak dengan halus keinginan dari mereka untuk mempersatukan kedua keluarga.

Yusuf bingung. Zulaikha mulai putus asa. Zulfi (Cipta Perdana), kakak Zulaikha, juga tak punya kuasa apa-apa untuk melawan titah ibunya. Maka jalan pintas ditempuh oleh Yusuf dan Zulaikha. Kali ini mereka tak hanya melawan keluarga, namun melawan adat yang terasa mengungkung mereka. Akhirnya 'Silariang' yang memiliki arti kawin lari dalam bahasa Bugis, Makassar menjadi pilihan dua sejoli ini. Konon demi cinta, mereka rela melakukan silariang.

Bumbu cerita mulai digarap oleh sutradara Wisnu Adi yang didampingi Kunun Nugroho sebagai asisten sutradara. Budaya silariang dipandang dari banyak hal seperti tidak direstui hubungan akibat perbedaan status sosial pasangan yang saling mengasihi. Isu ini dianggap dekat dengan generasi muda masa kini.

Perkara Silariang tidak semudah itu. Ada lapisan emosi yang nampak ragu diambil oleh Zulaikha untuk mulai mengarungi kehidupan baru hanya berdua. Ada keluarga yang merasa tercoreng harga dirinya dan ada pula ibu yang terluka hatinya karena ditinggal putri semata wayangnya. Benturan konflik ini coba dikupas dari berbagai sisi dengan memperlihatkan sejumlah nilai-nilai budaya yang baik dan bisa ditiru.

Itulah kearifan lokal dari suku Bugis yang kembali diambil menjadi tema dalam industri perfilman Indonesia. Tema 'silariang' bukan hal baru di industri kreatif nasional. Cerita ini pernah diangkat ke dalam cerita pendek (cerpen) oleh almarhum Rahman Arge, sastrawan asal Makasar yang terkenal sejak tahun 70an. Selain itu, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan juga pernah memproduksi cerita tentang kawin lari ini dengan judul "Jangan Renggut Cintaku".

Bahkan sebelum film Silariang, budaya Makassar juga sudah sempat diangkat melalui Film "Uang Panai Mahal" dan "Molulo". Film ini pun sempat menjadi box office di Makassar, namun tidak populer di kota lain.

Relevansi kisah cinta yang tak lekang oleh waktu dalam Film Silariang jadi momok tersendiri bagi kalangan anak muda. Sebenarnya, isu ini sudah tidak happening di Makassar karena sudah jarang ditemukan baku tikam. Pola pikir masyarakat mulai memandang bahwa pernikahan sesuatu yang sakral.

Lari dari kenyataan tidak lagi menjadi solusi untuk menghadapi kehidupan. Inilah pesan moral yang terungkap dari naskah Silariang. Eksplorasi konflik mampu membuat semua karakter semakin hidup. Permasalahan yang tidak biasa dan butuh pola pikir dewasa untuk saling mencerna mampu ditulis oleh Oka Aurora.

Perspektif penonton akan semakin kaya dengan pergerakan karakter-karakter protagonis dan antagonis dalam film yang tayang sejak 18 Januari 2017 lalu. Masing-masing karakter bertahan dengan makna cinta yang ada di dalam sanubari mereka. Ketika cinta dan adat dipertemukan dalam adegan dramatis yang taktis.

Meski dibintangi aktor dan aktris film asal Jakarta, namun para pemain dapat melebur sebagai bagian dari masyarakat Bugis, Makassar. Pembentukan karakter yang masih labil namun penuh keberanian mengambil keputusan tampak berhasil dieksekusi oleh Bisma Karisma dan Andania Suri. Keduanya mampu berdialek dengan tata bahasa Makassar. Mereka pun menunjukkan totalitas akting karena telah diarahkan melalui treatment khusus Luna Vidya sebagai pengarah peran.

Bisma berakting natural sebagai Yusuf. Wajar saja, Ia pernah mendapat penghargaan sebagai Aktor Pendatang Terpilih pada Piala Maya melalui Film Juara. Namun, ada beberapa adegan yang memaksa ekspresi Bisma terlihat tidak fokus dalam film ini, terutama saat adegan di rumah sakit.

Andania Suri lebih tampak cemerlang melakoni peran Zulaikha. Adegan menangis menjadi senjata pamungkas yang melapis emosinya. Saat Zulaikha sembunyi di bawah tangga rumah menjadi adegan penuh emosional yang menjadi kesukaan para penonton.

Hanya saja ada kontinuitas sikap yang tidak tergarap saat sebelum naik sampan. Zulaikha ingin buang air kecil, tapi sampan sudah harus berangkat dan tak bisa menunggu lama. Setelah Ia naik seolah tidak ada aksi lanjutan alias Zulaikha lupa begitu saja rasa ingin pipis yang sudah Ia tahan.

Sebagai aktris yang pernah meraih Piala Citra, sosok Dewi Irawan juga sangat menjiwai sebagai ibu yang tak merestui. Namun, pengembangan karakter Puang Rabiah dalam tokoh tidak mendapat porsi begitu banyak. Ada adegan yang disengaja saat Ia masuk ke kamar anaknya seolah sudah mengetahui bahwa Zulaikha akan kabur dari rumah. Ini terlalu mengada-ada.

Dari semua pemeran yang ada, tokoh Nurjanah (Wahyuni) paling terlihat begitu kaku dalam setiap aktingnya. Sebagai seorang ibu yang sayang terhadap anak lelakinya, Ia tidak tampak begitu membela anaknya, Yusuf. Padahal karakter Nurjanah dibentuk penuh kasih sayang sejak awal cerita.

Flyer Film Silariang
Flyer Film Silariang
Tata kamera pun nyaris meromantisasi setiap adegan berdurasi 98 menit ini. Dengan dalih komposisi gambar, kamera justru ada yang memperlihatkan adegan jumping. Saat Yusuf dan Zulaikha naik di atas sampan, mereka tampak duduk di tengah antara penumpang lain. Lalu, shot selanjutnya justru menempatkan mereka seperti duduk berdua tanpa ada penumpang lain yang duduk di belakangnya. Beberapa momen two shot Yusuf dan Zulaikha juga dibiarkan shake the camera sehingga mengganggu love moment diantara mereka.

Secara keseluruhan, film terlalu cepat mengalir di awal. Ada beberapa bagian cerita yang hilang karena tak mampu membangun love story scenes dengan romantic moment. Padahal penonton seharusnya diberi deskripsi atas dasar apa kekuatan cinta mereka hingga tak bisa dipisahkan dari awal. Apalagi sebagai suami istri yang menjalani pernikahan dini, mereka juga terlibat konflik di akhir cerita hingga sempat terpikir untuk bercerai.

Penggarapan adegan sejatinya mampu mempertimbangkan alur cerita yang mengalir dari awal sampai akhir hingga tercipta konstruksi cerita manis yang dinamis. Backstoryperlu dibangun di awal film agar makna cinta bisa didapat dalam prolog adegan.

Ada beberapa adegan yang juga tampak menggelikan. Saat adegan Paman dan Bibi Yusuf datang ke rumah Zulaikha, mereka sudah terlihat disambut. Namun, belum dipersilakan untuk duduk, mereka justru sudah duduk terlebih dahulu. Bahkan dialog langsung memulai dengan perkataan 'silakan duduk', padahal semua pemeran sudah tampak duduk di sofa.

Begitu juga saat adegan ayah Yusuf yang bernama Dirham mengetahui bahwa anak laki-lakinya kabur terlalu dibuat-buat. Ia seolah menelepon pihak perbankan untuk memblokir kartu ATM dan deposito milik Yusuf. Padahal, untuk memblokir saldo dalam dunia perbankan tidak bisa diwakilkan melainkan harus dilakukan oleh nasabah yang bersangkutan. Adegan menelepon ini juga terdistraksi dengan suara televisi yang begitu mengganggu di ruang keluarga.

Di akhir film, cerita mulai tersaji secara klise. Tiba-tiba Yusuf dan Zulaikha yang sudah memiliki anak dihakimi oleh masyarakat kampung karena sudah ketahuan melakukan silariang. Penyelesaian cerita semakin menjadi kaku hanya karena aspek 'golongan darah yang langka'.

Zulaikha yang telah dianggap mati secara adat akhirnya bisa diterima kembali oleh pihak keluarga. Mereka pun melangsungkan adegan pernikahan yang juga menggelikan karena Bisma datang didampingi oleh rombongan, sementara ayah dan ibunya malah sudah duduk di dalam rumah mempelai wanita. Sungguh adegan yang penuh keganjilan.

Untung saja latar belakang keindahan panorama Makassar melalui Rammang Rammang yang memang dikenal sebagai lokasi wisata eksotis di Sulawesi Selatan mampu menjadi daya tarik tersendiri. Colour grading film ini juga aman. Sampai tata musik yang digarap oleh Nadya Fatira begitu mantap jiwa. Apalagi, ia juga menyanyikan lagu "Inninawa" dengan suara yang menyentuh hati bagi siapa saja yang mendengarnya. Original soundtrack yang berjudul "Meski Kau Tak Ingin" juga mampu dinyanyikan oleh Musikimia dengan syahdu.

Semoga saja Film Silariang mampu memberi dukungan pada perkembangan perfilman nasional di era ekonomi  kreatif. Semua penonton akan diajak menelusuri budaya hingga lokasi menarik yang tersebar di penjuru Sulawesi Selatan. 

Mudah-mudahan tradisi bisa tetap dijalankan tanpa memberatkan pasangan yang telah berjanji suci untuk saling menyatukan hati. Bukankah cinta itu tidak mengenal kasta?.

Pamflet Film Silariang
Pamflet Film Silariang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun