Yusuf bingung. Zulaikha mulai putus asa. Zulfi (Cipta Perdana), kakak Zulaikha, juga tak punya kuasa apa-apa untuk melawan titah ibunya. Maka jalan pintas ditempuh oleh Yusuf dan Zulaikha. Kali ini mereka tak hanya melawan keluarga, namun melawan adat yang terasa mengungkung mereka. Akhirnya 'Silariang' yang memiliki arti kawin lari dalam bahasa Bugis, Makassar menjadi pilihan dua sejoli ini. Konon demi cinta, mereka rela melakukan silariang.
Bumbu cerita mulai digarap oleh sutradara Wisnu Adi yang didampingi Kunun Nugroho sebagai asisten sutradara. Budaya silariang dipandang dari banyak hal seperti tidak direstui hubungan akibat perbedaan status sosial pasangan yang saling mengasihi. Isu ini dianggap dekat dengan generasi muda masa kini.
Perkara Silariang tidak semudah itu. Ada lapisan emosi yang nampak ragu diambil oleh Zulaikha untuk mulai mengarungi kehidupan baru hanya berdua. Ada keluarga yang merasa tercoreng harga dirinya dan ada pula ibu yang terluka hatinya karena ditinggal putri semata wayangnya. Benturan konflik ini coba dikupas dari berbagai sisi dengan memperlihatkan sejumlah nilai-nilai budaya yang baik dan bisa ditiru.
Itulah kearifan lokal dari suku Bugis yang kembali diambil menjadi tema dalam industri perfilman Indonesia. Tema 'silariang' bukan hal baru di industri kreatif nasional. Cerita ini pernah diangkat ke dalam cerita pendek (cerpen) oleh almarhum Rahman Arge, sastrawan asal Makasar yang terkenal sejak tahun 70an. Selain itu, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan juga pernah memproduksi cerita tentang kawin lari ini dengan judul "Jangan Renggut Cintaku".
Bahkan sebelum film Silariang, budaya Makassar juga sudah sempat diangkat melalui Film "Uang Panai Mahal" dan "Molulo". Film ini pun sempat menjadi box office di Makassar, namun tidak populer di kota lain.
Relevansi kisah cinta yang tak lekang oleh waktu dalam Film Silariang jadi momok tersendiri bagi kalangan anak muda. Sebenarnya, isu ini sudah tidak happening di Makassar karena sudah jarang ditemukan baku tikam. Pola pikir masyarakat mulai memandang bahwa pernikahan sesuatu yang sakral.
Lari dari kenyataan tidak lagi menjadi solusi untuk menghadapi kehidupan. Inilah pesan moral yang terungkap dari naskah Silariang. Eksplorasi konflik mampu membuat semua karakter semakin hidup. Permasalahan yang tidak biasa dan butuh pola pikir dewasa untuk saling mencerna mampu ditulis oleh Oka Aurora.
Perspektif penonton akan semakin kaya dengan pergerakan karakter-karakter protagonis dan antagonis dalam film yang tayang sejak 18 Januari 2017 lalu. Masing-masing karakter bertahan dengan makna cinta yang ada di dalam sanubari mereka. Ketika cinta dan adat dipertemukan dalam adegan dramatis yang taktis.
Meski dibintangi aktor dan aktris film asal Jakarta, namun para pemain dapat melebur sebagai bagian dari masyarakat Bugis, Makassar. Pembentukan karakter yang masih labil namun penuh keberanian mengambil keputusan tampak berhasil dieksekusi oleh Bisma Karisma dan Andania Suri. Keduanya mampu berdialek dengan tata bahasa Makassar. Mereka pun menunjukkan totalitas akting karena telah diarahkan melalui treatment khusus Luna Vidya sebagai pengarah peran.
Bisma berakting natural sebagai Yusuf. Wajar saja, Ia pernah mendapat penghargaan sebagai Aktor Pendatang Terpilih pada Piala Maya melalui Film Juara. Namun, ada beberapa adegan yang memaksa ekspresi Bisma terlihat tidak fokus dalam film ini, terutama saat adegan di rumah sakit.
Andania Suri lebih tampak cemerlang melakoni peran Zulaikha. Adegan menangis menjadi senjata pamungkas yang melapis emosinya. Saat Zulaikha sembunyi di bawah tangga rumah menjadi adegan penuh emosional yang menjadi kesukaan para penonton.