Mama, engkau bagai sinar yang sempurna. Engkau bagai lilin yang terpancar rata. Engkau bagai jantung yang tersemat di dada. Aku tak akan membiarkanmu gelap, padam, dan terhenti berdetak hingga aku tak mau melihat ada aliran air dari kelopak matamu. Aku yakin tiap tetesan air matamu yang jatuh adalah kebahagiaanku yang terlukai. Kelak, kehidupan kita di dunia dan nanti di alam sana akan menjadi abadi dan harum karena dipenuhi berjuta pahala dan bunga do'a.
Apabila waktuku tak banyak untukmu, aku ingin di setiap doa'mu, kau sebut namaku. Apabila aku berada di batas akhir kehidupan, jangan mandikan aku dengan air matamu itu. Apabila aku terkubur, maka kuburlah aku dalam hatimu. Aku menyayangimu mama. Aku begitu mencintaimu karena kau surga terindah yang diciptakan Tuhan untukku.
Inilah surat yang ku tulis. Surat yang sederhana karena lidah ini kelu tak mampu berucap. Surat yang sederhana karena tangan ini tak mampu lebih lama lagi menggoreskan kata. Surat yang memang tak pernah ku serahkan secara langsung karena rasa malu yang ku yakin tak bisa membalas segala hadiah yang telah engkau berikan untukku. Surat yang tak tahu apakah mama akan membacanya.
'Ma, inilah surat untukmu. Surat cinta untuk mama...'
                                                                                                                             Dari yang mencintaimu,
                                                                                                                          -Ananda Achmad Humaidy-