Akting dari Egi Fedli juga menampilkan sisi jahat sebagai perampok tanpa banyak aksi. Ada Yayu Unru dan Yoga Pratama yang juga menjadi bagian sebagai kawanan perampok dalam film ini. Hanya saja, penampilan apik dari Franz terasa kurang maksimal secara visual saat bernyanyi dengan logat Sumba karena tidak ada bahasa terjemahan yang diberikan kepada penonton tentang lagu yang sedang dinyanyikan sehingga penonton tidak bisa menikmati makna lagu yang keluar langsung dari bibir tokohnya.
Properti yang digunakan juga cukup mewakili latar dari film ini, seperti telepon genggam murahan yang digunakan oleh penduduk desa terpencil. Namun, kotak yang digunakan untuk menaruh kepala dalam film ini terlalu mengada-ada karena penonton tidak diberitahu dari mana Marlina mendapat kotak itu.
Adegan sepanjang perjalanan Marlina menuju kantor polisi juga masih ada yang dibuat-buat. Keanehan terjadi saat para penumpang turun dari truk karena Marlina berani mengancam supir truk dengan parang. Penumpang yang didominasi para lelaki justru tampak takut dan sengaja memilih turun mungkin karena bau busuk dari kepala yang Marlina bawa. Para penumpang pun tiba-tiba langsung menyebar entah kemana tanpa tujuan.
Transisi tiap babak juga tidak begitu mulus. Time lapse dari panorama awan kurang begitu indah. Hanya saja mampu tertutupi oleh alur cerita yang kuat sehingga membuat penonton tetap betah mengikuti jalan cerita dalam setiap babak. Film ini pun unggul karena mampu menampilkan adegan pembunuhan di awal dan di akhir cerita tanpa memakan durasi terlalu banyak.
Patut diakui sinematografi segar bersifat alamiah mampu memberi impresi visual mengesankan. Gaya penyuntingan gambar (editing) Kelvin Nugroho dengan pilihan filter yang cerdik mampu menghadirkan kontras-kontras visual senada.
Tata artistik yang proporsional tampak digarap begitu profesional oleh Frans Paat. Tim artistik tidak memaksakan semua properti untuk masuk ke dalam gambar hidup. Didukung tata cahaya menawan, tim produksi mampu memanfaatkan naturalisasi dari efek matahari, lampu petromaks, dan tungku api demi menghasilkan gambar-gambar yang kuat dalam menciptakan bayang-bayang hitam penuh kegelapan. Semua menyatu dan bertahan pada kenyataan.
Diiringi dengan musik kontinu yang diaransemen oleh Zeke Khaseli dan Yudhi Arfani membuat film dengan segmentasi penonton 18 tahun ke atas ini terlihat begitu sederhana. Alunan musik yang mengusik rasa dan ingatan. Tata musik mampu mewakilkan suasana serta perasaan genting dan gundah. Layak jika Piala Maya 2017 diberikan kepada mereka.
Original soundtrack menggugah telinga untuk mendengar lantunan Cholil Mahmud yang berjudul "Lazuardi". Dengan lirik lagu yang mengusung perjuangan diri untuk mendapat keadilan pada masa kini. Tata musik etnik yang dimixing dengan irama barat mampu membuat penonton bertualang bersama Marlina demi memperjuangkan hak-haknya sebagai seorang wanita.
Lebih dari itu, tata suara oleh Yusuf Patawari dan Khikmawan Santosa juga masuk ke dalam layar lebar seolah menemani Marlina yang kesepian. Ada udara yang berhembus, suara jangkrik yang futuristik, hingga denyut sunyi dari sosok-sosok tersembunyi. Semua merepresentasi kondisi apa adanya. Tempo suara dan musik menyatu dengan baik. Perpaduan ini yang membuat penulis sangat terpukau.
Ada ketegangan dan ketegaran audio visual dari sosok Marlina yang binal. Perjuangan seorang wanita Sumba yang hakiki karena tidak ingin diperlakukan seenaknya oleh lelaki keji. Begitu rendah harkat wanita sehingga Marlina harus menyelesaikan dengan caranya sendiri. Kebrutalan yang melawan hukum menjadi pilihan agar harga dirinya tidak diinjak-injak sampai mati.
Marlina pun mewakili banyak wanita di Indonesia bahkan di dunia yang pernah mendapat perlakuan sama. Pelecehan secara fisik maupun verbal bisa membayangi di setiap sudut hidup mereka. Untuk bercerita tentang kejadian nista tersebut saja sudah cukup berat, padahal hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku relatif ringan.