Saat menonton film yang rilis tanggal 16 November 2017 ini, penulis sulit menghela nafas panjang dalam durasi tayang kurang lebih 1 jam 30 menit. Banyak adegan ekstrem yang sadis seperti memenggal kepala.
Film ini memang memberi warna baru di perfilman Indonesia. Membuat penonton berdebar-debar menyaksikan fenomena masyarakat Indonesia yang anarkis. Penonton pun akan diajak keluar dari zona nyamannya.
Kecantikan alam Sumba juga ditunjukkan secara natural hampir sepanjang film. Mata penonton dibius oleh hamparan luas dengan pemandangan bukit sabana warna kuning keemasan di musim kemarau nan eksotik. Latar jalanan berliku dan berbatu dalam landscape shot yang hanya bisa dilewati truk tua, kuda atau motor-motor besar.Â
Transportasi umum memang terlihat tidak banyak melintas dari sentuhan wide angle tata kamera. Sebuah masterpiece dari Director of Photography (DOP) yang luar biasa memukau ala Yunus Pasolang. Ia mampu menangkap visual liar berbasis keindahan lokal yang jarang terekspos pada film Indonesia lain.
Tidak ada kebisingan suara-suara disekitar. Penonton diajak merenung karena di balik keindahan itu, masyarakat Sumba memang masih hidup dalam kondisi tertinggal. Faktor ekonomi yang serba kekurangan juga membuat Marlina tinggal bersama mumi karena kekurangan biaya untuk menguburkan jenazah suaminya sendiri. Mumi itu terbungkus tenun ikat di sudut rumahnya seolah terhimpit kemiskinan yang terjadi.
Tak ayal, Film Marlina menyajikan struktur konstruktif cerita intens yang tenang tanpa banyak drama ataupun dialog. Kisah yang ditulis oleh Rama Adi dihantarkan lembut nan sunyi namun penuh kekerasan. Tidak ada yang dieksekusi dengan aliran darah begitu parah. Hanya virulensi yang membungkus konsiderasi atas catatan sosial yang telah terjadi di dalam negeri sesuai dengan pembangunan momentum yang pas. Penonton pun kembali diajak berpikir dalam setiap adegannya.
Peran wanita yang berani dalam kehidupan ditampilkan dalam film ini untuk menepis peran laki-laki yang mengobjektifikasi perempuan sehingga merasa lebih superior. Feminisme ditempatkan pada bingkai karakter yang tak banyak bicara, penuh pendirian, pembawaan kalem, dan menyimpan luka. Lewat logat wanita khas Indonesia bagian timur para pemain berdialog dalam percakapan sewajarnya. Â Mereka menceritakan lelucon hidup yang patut direnungi bersama.
Dengan wajah yang meyakinkan, Marsha Timothy tampil melalui ekspresi-ekspresi kebal dalam setiap adegan. Ia membuat semua tingkah laku Marlina terasa natural, meski penulis belum begitu merasakan emosi yang memuncak dari sosoknya yang begitu tegar. Sepertinya sutradara sengaja tidak menampilkan karakter Marlina dengan kondisi depresi yang berlebihan.
Marlina masih terlalu dingin dan tidak dapat berkata-kata lebih banyak setelah tragedi yang menimpanya. Hanya saja untuk mendekati rana lebih nyata, sisi pergerakan emosi dari ketangguhan Marlina harus sedikit ditampilkan. Maka, konsistensi akting Marsha Timothy lebih mudah ditranslasikan kepada penonton tanpa kehilangan bobot pembentukan karakter Marlina itu sendiri.
Sebagai pendatang baru, Dea Panendra lebih terlihat mampu memainkan emosi di film perdananya. Berperan sebagai sosok Novi yang apa adanya, Ia pergi mencari suami yang kesal lantaran anak mereka belum lahir karena sudah hamil lebih dari 9 bulan. Novi terlalu mencintai suaminya, meski akhirnya suami Novi terhasut oleh penjahat  yang selalu mengintainya. Novi pun difitnah pernah berhubungan dengan pria lain.
Hanya saja, beberapa kali tokoh Novi sempat terlibat perkelahian yang membuatnya terjatuh, namun kondisi kehamilan tampak tak ada masalah atau kontraksi yang parah. Kondisi bayi Novi pasca lahir bahkan tampak bersih dan tidak berlumur darah atau ari-ari. Mungkin saja, sang sutradara ingin menggambarkan wanita Sumba dengan fisik sebegitu kuatnya di tengah kegetiran yang terjadi.