Di dalam kantor polisi, bukan pelayanan baik yang Marlina dapatkan. Para aparat sibuk bermain pingpong, sementara Marlina dibiarkan terus menunggu tanpa kepastian. Lantas, apakah aparat negara tak lebih dari pemberi harapan palsu bahkan menganggap seorang warga tak lebih berharga dibanding sebuah bola pingpong.
Kantor polisi tampak suram hanya dilengkapi mesin tik tua yang digunakan aparat untuk mencatat laporan dari Marlina. Tak ada waktu yang bisa terjelaskan dengan pasti, tahun berapa kisah ini terjadi.
Kisah Marlina dihadapan hukum tambah ironis. Ia harus mengikuti alur birokrasi yang lamban untuk meminta suatu pertanggungjawaban. Penceritaan tragedi yang dialaminya ke pihak berwenang justru tidak mendapat reaksi yang diinginkan. Polisi itu kembali mempertanyakan, "kok enggak ngelawan?" dan "kenapa kau mau diperkosa oleh orang tua?". Â Sebuah metode pertanyaan yang menyudutkan korban pemerkosaan sehingga semakin terpojokkan.
Melapor ke polisi tidak mampu menyelesaikan masalah saat itu juga. Butuh waktu sampai 3 hari ke depan untuk memproses olah kejadian di tempat perkara, apalagi jarak dari kantor polisi menuju lokasi kejadian begitu jauh. Jika Marlina ingin cepat, ia juga harus memiliki uang untuk sewa dokter visum supaya bisa memeriksa kelaminnya sebagai bukti kuat atas apa yang telah terjadi di rumahnya.
Pupus sudah jika kasus ini harus tuntas melalui sensibilitas hukum yang tinggi. Penegak hukum seakan tidak hadir untuk warga yang tidak berdaya. Berjanji melindungi warga, nyatanya mereka memaksa warga untuk membayar hak yang sebetulnya telah dibayar. Negara selalu punya alasan untuk terus menghisap daya hidup warganya. Sebuah kritik sosial politis yang lebih cerdas memotret realitas penegakan hukum di Indonesia.
Sampai di akhir film babak ke-empat. Marlina masih terjebak dalam perangkap penjahat yang masih tersisa. Ia hanya ingin menyelamatkan Novi sahabatnya.
Pondok sunyi Marlina kembali menjadi saksi dalam melengkapi simpul yang sempat terputus. Marlina mengembalikan kepala Markus untuk disambung kembali dengan potongan tubuhnya. Hanya saja, arogansi begundal kawanan Markus yang bernama Franz coba membalas dendam untuk menyalurkan hasrat kejantanannya terhadap Marlina.
Parang pun berkecamuk. Novi sebagai sahabat Marlina mampu memenggal kepala lelaki bejat itu. Hingga tak lama kemudian lahirlah seorang anak dari rahim Novi.
Kondisi kaum lelaki digambarkan masih berkuasa merampas hak-hak asasi dari seorang wanita di tengah sunyi. Potret cerita ini ternyata masih terekam di pelosok Indonesia dan kisah yang menyangkut gender ini berhasil diramu ke dalam naskah hingga diwujudkan sebagai bentuk film layar lebar.
Ide awal film ini datang dari Garin Nugroho sejak tahun 2015 lalu. Premise yang dikemukakan sederhana lalu berkembang secara visual dan cermat ditangan Mouly Surya sebagai sutradara. Ia pun melakukan riset tajam di pra produksi hingga film ini tayang di jaringan bioskop sebagai cerita rekaan yang menggambarkan kondisi sosial di Sumba.