Menjelang akhir tahun 2017, perfilman Indonesia diramaikan dengan berbagai pilihan genre. Mulai dari film horor, komedi, drama, dan thriller. Film horor mendominasi perolehan jumlah penonton terbanyak hingga meraih sekitar 4 juta penonton. Namun sayang perolehan jumlah penonton film tersebut tidak bisa diraih oleh film-film terbaik tahun ini, seperti Night Bus dan Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak.
Para pemerhati film menilai bahwa Film Marlina yang diproduksi oleh Cinesurya dan Kaninga Pictures termasuk ke dalam klasifikasi genre satay western. Jenis film yang diadaptasi dari nuansa kebaratan. Ada tokoh yang berjuang sendiri menghadapi konflik masing-masing, latar tempat di daerah terpencil, dan hubungan antara tokoh satu dengan tokoh lain yang saling terkait namun memiliki jarak tertaut.
Genre satay western muncul sejak kritikus film (Maggie Lee) menyebut film ini melalui ulasannya pada variety.com. Sebutan satay western kemungkinan hampir sama dengan film-film koboidengan model Jango dari Amerika. Lalu, ditempeli juga dengan makanan lokal yang dikenal seperti sate. Sama hal ketika mereka menyebut film garapan sineas Italia yang dikenal sebagai spagheti western karena Spageti juga menjadi makanan khas disana.
Penulis pun semakin antusias menonton film Indonesia yang berbeda genre dari film-film lainnya. Bukan hanya beda dari segi cerita atau pemain, tapi juga segala elemen pendukung didalamnya. Jagoan dalam film ini bukan lagi pria maskulin dengan senjata tajamnya. Film ini berani menunjukkan kekuatan wonder woman ala Indonesia dengan mempertahankan gaya timur yang terpadu pada nuansa western. Lalu, dibalut dalam keindahan padang yang begitu tandus.
Rabu sore (06 Desember 2017) penulis mendapat kesempatan menonton film Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak (Marlina The Murderer In Four Acts) di XXI Plaza Senayan. Penulis menonton pada show ketiga bersama dengan rekan movie blogger lainnya.
Pemutaran hari itu berlangsung di studio 8. Penonton pun bisa dihitung dengan jari. Penulis mendapat kursi di row B nomor 5. Ruangan semakin sepi, lampu dipadamkan, andits start for show time ... .
Babak pertama diawali dengan latar tempat di rumah Marlina. Rumah yang terlihat seperti gubuk memang jauh dari tetangga dan hanya memiliki binatang ternak serta sebuah kuburan di sekitar.
Seorang janda bernama Marlina (Marsha Timothy) dari Pulau Sumba hidup sebatang kara di perbukitan. Roman Marlina terlihat berduka setelah suami dan anaknya meninggal. Tidak ada ketenangan yang Ia dapat, justru tamu tak diundang hadir dalam kehidupannya.
Jika malam tiba, suasana mulai mencekam. Apalagi saat sekawanan (7 orang) perampok menyatroni rumah Marlina untuk mengambil binatang ternak miliknya (sepuluh ekor babi, sepuluh ekor kambing dan tujuh ekor ayam) karena almarhum suaminya belum melunasi utang. Dengan ancaman verbal, para perampok leluasa masuk ke rumah Marlina. Tidak ada siapapun yang bisa menolong Marlina, kecuali dirinya sendiri.
Di tengah keheningan malam, Marlina diperintah ketua perampok bernama Markus (Egi Fedly) untuk membuat sup ayam. Namun, apa yang terjadi, Marlina berani meracuni sup ayam yang dibuat untuk membunuh sekelompok perampok yang kelaparan. Otaknya berputar cerdas mencari siasat agar terlepas dari hal-hal yang telah diluar batas.