Taman Nasional Gunung Gede Pangrango memiliki area seluas 22.851,03 hektare (ha) sejak tanggal 10 Juni 2013 ditetapkan oleh Menteri Kehutanan melalui Surat Penunjukan dan Perubahan Fungsi Kawasan Cagar Alam, Taman Wisata Alam, Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi. Dahulu, kawasan ini menjadi taman nasional terkecil kedua di Indonesia. Namun, dalam hal konservasi keanekaragaman hayati, kawasan ini memiliki arti global. Taman ini membentuk zona inti Cagar Biosfer Dunia UNESCO dan merupakan tempat perlindungan bagi flora dan fauna pegunungan yang mencakup banyak spesies unik di Jawa Barat.
Penulis menjadi salah satu Kompasianer beruntung yang bisa mengikuti rangkaian acara Kompasiana Visit pada minggu lalu. Apalagi penulis hanya menjadi pengganti karena ada beberapa Kompasianer yang berhalangan hadir.
Setelah semua peserta berkumpul di Bentara Budaya Jakarta, Kompasianer melanjutkan perjalanan dengan bis menuju Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol (PPKAB). Perjalanan tidak terasa begitu lama karena didalam bis Kompasianer mengikuti beragam kuis dengan berbagai pilihan hadiah menarik.
Sekitar pukul 09.45, semua peserta tiba di lokasi. Beberapa mobil jeep sudah tampak siap dinaiki dan mengantar Kompasianer menuju Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Para Kompasianer pun langsung mengabadikan diri di depan mobil-mobil raksasa ini.
30 menit berlalu. Kompasianer turun dari Jeep dan disambut dengan suguhan pisang rebus dan singkong goreng. Makanan ini pun semakin nikmat apalagi ditemani minuman hangat seperti teh dan bandrek.
Dengan nama latin, HylobatesMoloch, Owa Jawa termasuk primata endemik yang memiliki ciri fisik tubuh berwarna abu-abu, wajah hitam, dan  mudah dikenali karena terlihat lebih cerah saat bergelantungan di atas pohon.
Owa Jawa juga sangat bergantung pada persediaan makanan. Mereka selalu hidup di pohon yang memiliki bunga buah, atau daun muda yang bisa dikonsumsi. Hal yang membedakannya dengan monyet, Owa Jawa ini termasuk kera sehingga tidak memiliki ekor.
Owa Jawa juga termasuk monogami karena memiliki satu pasangan seumur hidup. Perkembangbiakkan secara monogami ini juga dikenal bahwa Owa Jawa taat terhadap program Keluarga Berencana (KB) karena biasanya mereka terdiri dari dua dewasa dan dua anak sehingga hewan ini terlihat sangat teritorial dalam berkeluarga.
Tidak seperti mamalia lainnya, Owa Jawa juga dikenal sering mengeluarkan bunyi di pagi hari. Seruan dari suara khas Owa Jawa itu juga disebut "morning call". Jadi ingat kalau menginap di hotel, Kompasianer bisa memanfaatkan fasilitas "morning call" untuk dibangunkan oleh resepsionis. Maka, kalau menginap di hutan, Owa Jawa yang akan membangunkan Kompasianer untuk menyambut pagi.
Berdasarkan data dari Organisasi Konservasi Internasional yang bernama International Union for Conservation of Nature (IUCN) di tahun 2008, Owa Jawa terancam punah karena jumlahnya <4.000 jiwa. Owa Jawa ini langsung masuk kategori endangered species. Sementara Taman Nasional yang Kompasianer kunjungi hanya menjadi rumah bagi sekitar 100 Owa Jawa. Tidak hanya Owa Jawa, Elang Jawa dan Macan Tutul juga dilestarikan di Kawasan Bodogol ini. Kawasan ini memang sengaja diprioritaskan ke depan sebagai tempat wisata minat khusus berbasis ekowisata yang juga bisa menjadi tempat penelitian para akademisi.
Drastis kepunahan Owa Jawa disebabkan karena primata ini susah reproduksi, namun banyak diburu untuk diperjualbelikan atau dipelihara. Padahal, perburuan Owa Jawa cukup berbahaya karena hewan ini sensitif dan langsung meninggal karena stres bila salah satu anggota keluarganya hilang.