Mohon tunggu...
Achmad Humaidy
Achmad Humaidy Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger -- Challenger -- Entertainer

#BloggerEksis My Instagram: @me_eksis My Twitter: @me_idy My Blog: https://www.blogger-eksis.my.id

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

"Pengabdi Setan" Menembus 4 Juta Penonton di Bioskop

8 November 2017   13:35 Diperbarui: 8 November 2017   14:01 2250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Twitter @Flickmagazine

Dengan perolehan 4 juta penonton hingga hari ini, Film Pengabdi Setan yang diproduksi oleh Rapi Films dan menggandeng rumah produksi asal Korea Selatan, CJ Entertainment menjadi film Indonesia terlaris dalam perolehan jumlah penonton pada tahun 2017 yang menggeser posisi puncak film 'Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 2. Jika dilihat dari urutan data box office film Indonesia dari tahun 2007-2017, Film Pengabdi Setan berada pada posisi 4 dibawah Warkop DKI Reborn Part 1, Laskar Pelangi, dan Habibie & Ainun.

Sebentar lagi penampakan hantu Ibu dalam film 'Pengabdi Setan' juga akan bergentayangan lebih banyak di bioskop negara-negara seluruh dunia. Ada 26 negara yang siap menayangkan film yang diproduseri oleh Sunil Samtani ini. Salah satunya negara tetangga, Malaysia yang menetapkan tanggal rilis resmi pada 23 November 2017 mendatang.

Tak hanya laris manis diserbu penonton, film Pengabdi Setan juga sukses meraih 13 nominasi di ajang penghargaan Festival Film Indonesia (FFI) 2017. Lantas, akankah film ini berhasil menjadi film terbaik tahun ini?... .

Twitter @FILM_Indonesia
Twitter @FILM_Indonesia
Sineas terkenal perfilman Indonesia, Joko Anwar, berhasil menggarap film Pengabdi Setan yang menjadi salah satu film favoritnya sejak masa kanak-kanak di tahun 1980. Om Joko tidak ingin remake (reka ulang) kisah film ini, namun ia berupaya reboot (tafsiran baru) sehingga diharapkan bisa memberi nuansa dan dimensi lain atas tema orisinal yang diangkat agar lebih creepy.

Manusia adalah makhluk yang mudah dirasuki. Selalu mencari tempat perlindungan yang tidak pasti. Kita cenderung ingin menyandarkan kegelisahan pada sesuatu yang lebih besar dari kita, yang bisa kita percaya meski keadaan tidak menjamin akan baik-baik saja. Anak bersandar kepada orangtua. Orangtua yang beriman akan meminta perlindungan kepada Tuhan. Namun, jika ada yang tak kenal dengan Tuhan, mereka pasti terjerumus kepada hal-hal gaib dan menjadi pengikut sekte sebagai suatu ajaran baru yang dipercaya dapat memberi berkah dalam kehidupan. Mereka itulah pengabdi setan. Saat mereka meninggal, mayat-mayat seperti itu akan bangun kembali dan menjadi hantu. Kompasianer pun akan siap diganggu.

Alkisah di tahun 1981, keluarga yang sudah tidak berdaya tinggal di sebuah rumah tua bersama neneknya (Elly D. Luthan) yang sudah renta. Bapak (Bront Palarae) dan Ibu (Ayu Laksmi) dengan empat orang anak, Rini (Tara Basro), Tony (Endy Arfian), Bondi (Nasar Annuz) dan Ian (M. Adhiyat) yang tuna wicara harus rela tinggal di rumah nenek karena karier menyanyi ibu sudah redup sejak ibu sakit parah selama 3 tahun. Padahal, setiap lagu yang menjadi hits saat Ibu Mawarni Suwono bernyanyi selalu memiliki lirik yang membuat bulu kuduk berdiri sendiri alias merinding. Karir Ibu mulai tenggelam bersama penyakit yang dideritanya.

Dari awal adegan, atmosfer menyeramkan mulai terestablish. Penonton akan diajak menjenguk ibu yang terbaring lemah tak berdaya di tempat tidur. Korelasi antara ibu dan anak-anak yang merawatnya memberi first impression bahwa masing-masing anak memiliki ketakutan saat melihat ibu kandungnya sendiri yang sakit keras. Pengobatan ibu terhadap penyakitnya yang telah menghabiskan biaya membuat mereka harus mencari uang tambahan untuk bertahan hidup. Penyakit ibu yang tak dijelaskan secara detail kepada penonton hingga meninggal sambil berdiri ke hadapan jendela dan tiba-tiba terkapar jatuh ke lantai hanya memberi kesan misterius begitu saja.

Setelah ibu meninggal, Bapak pergi ke kota entah untuk apa tujuannya. Tiba-tiba saja Bapak meninggalkan Rini, Tony, Bondi, Ian, dan nenek secara mendadak. Kondisi rumah yang semakin sepi, menjadi semakin mencekam. Ibu tidak lagi menutup mata,  Ia bangkit dari kubur dan kembali pulang ke rumah meneror anggota keluarga satu per satu untuk mengajak ke alam baka. Alhasil, nenek menjadi korban pertama yang menyusul Ibu karena tiba-tiba kursi roda yang diduduki nenek tidak bisa bergerak dan nenek pun tewas masuk ke dalam sumur tua.

Sebagai anak tertua, Rini mulai memegang peran. Ia mulai bertanya-tanya tentang misteri apa yang terjadi dalam rumahnya. 'Ada hantu ibu yang gentayangan' menjadi pendapat Hendra (Dimas Aditya) seorang anak dari ustad yang juga tinggal di lingkungan mereka. Tapi, Rini tak mudah percaya dengan takhayul meskipun Tony dan Bondi juga selalu bercerita tentang mitos-mitos mistis yang sesuai dengan apa yang mereka alami sekarang. Rini pun mulai mencari tahu misteri apa yang tersembunyi berkaitan dengan masa lalu orangtua mereka dari sepucuk surat yang ditinggalkan nenek dan belum sempat dikirimkan kepada sahabatnya, Pak Budiman (Egi Fadly) yang tinggal pada sebuah rumah susun di kota.

Di pertengahan film, Bondi sebagai anak ketiga mulai berperan dengan tatapan mata yang selalu kosong. Ia menderita sakit panas yang berkepanjangan dan tingkah lakunya aneh seolah berada di bawah pengaruh roh jahat.

Rini dan keluarga memang termasuk golongan yang tidak beriman kepada Tuhannya sehingga roh jahat begitu leluasa masuk ke rumah ini. Kisah masa lalu ibu dalam film juga sesuai dengan judulnya yaitu pengabdi setan. Karakter Rini dibentuk sebagai pemegang kendali membawa keluarga ke jalan yang benar. Bersahabat dengan Hendra, ia mendapat pencerahan untuk menjalani ibadah shalat di rumahnya. Hanya saja, setelah ibadah, ia tetap diganggu oleh hantu ibu yang arwahnya masih gentayangan di dalam rumah dan siap mencari korban jiwa selanjutnya.

Gangguan dari hantu Ibu berlanjut sampai akhir film. Mobil jemputan yang ternyata dibawa oleh Pak Budiman untuk membawa keluarga mereka menuju ke kota itu datang hingga dini hari. Mobil berupaya agar bisa tancap gas lebih kencang untuk menghindari kejaran pocong-pocong yang bangkit dari kuburnya. Semua anggota keluarga bergegas, hanya Ian yang tidak bisa ikut pergi bersama mereka. Ian dianggap sebagai anak bungsu yang nyawanya harus diserahkan kepada Ibu sebagai bentuk persembahan abdi setan. Plot twist ini pun mengakhiri film Pengabdi Setan tanpa petunjuk di awal dan pertengahan cerita. Tersisa frame dari Batara (Fachri Albar) dan Darminah (Asmara Abigail) yang tampil sebagai cameo di akhir film sebagai representasi pasangan sekte yang siap mencari pengikut mereka di sekuel film Pengabdi Setan selanjutnya.

"Mereka tidak akan bisa mengambil nyawa kalian jika kalian bisa saling menyayangi"

Itulah story overview Film Pengabdi Setan versi kekinian.Semakin mendekati akhir, ungkapan cerita atas kisah masa lalu yang telah terjadi dieksekusi semakin konyol. "Katanya begitu, eh faktanya begini". Terasa film ini masih ragu untuk meletakkan alur utama cerita mereka sendiri dengan pendapat dan perasaan yang berlanjut semakin tidak make sense.

Film ini coba memunculkan benang merah, hanya saja benang merah tersebut tidak mampu mengikat banyak hal. Beberapa celah justru sengaja dibuat semakin tidak berkelindan rapi (plot hole). Ada banyak inkonsistensi yang tampak jelas, baik dari segi karakterisasi maupun perkembangan narasi.

Beberapa adegan tampak aneh, entah sengaja dihilangkan atau dimasukkan begitu saja. Misalnya, tidak ada adegan anak-anak berkomunikasi dengan bapaknya saat nenek meninggal padahal kondisi dalam rumah semakin mengancam nyawa mereka masing-masing. Dengan dalih tidak ada kontak yang bisa dihubungi, rasanya karakter Bapak sengaja menghilang tanpa jejak begitu saja. Ada juga adegan mati lampu dan si Tono sambil melihat ke jendela bilang bahwa semua rumah di sekitar juga mengalami padamnya lampu. Padahal sepanjang film, penonton tidak akan melihat bahwa rumah mereka dekat dengan rumah tetangga lainnya.

Lalu, adegan Rini yang tiba-tiba ingin mencari angin segar ke luar rumah saat mereka menunggu mobil jemputan. Ternyata, Rini dipaksa keluar rumah agar bisa menemukan bibit-bibit sekte yang telah bertabur di sekitar rumah. Berlanjut lagi adegan tersebut saat Bapak menyuruh Rini dan Tony tidur lebih dahulu, sementara Bapak masih bertahan dengan kantuknya di ruang tamu bersama ustad sambil menunggu mobil jemputan datang dan momen ulang tahun Ian. Hingga jam dua belas malam, justru adegan menampilkan Bapak sudah tidur nyenyak di atas ranjang. 

Lebih lanjut, alur cerita film mulai berjalan tidak sesuai logika. Ibadah dan peran ustad yang biasanya memiliki kekuatan ampuh untuk mengusir setan justru ditepis tidak sesuai dengan pembelajaran rohani yang kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Kematian sang ustad memberi deskripsi hilangnya agama sebagai tiang pegangan diatas  kebenaran. Entah memang kebenaran tidak akan selalu menang atau sengaja agama dianggap bukan sebagai kebenaran yang hakiki. Hal ini yang tidak membentuk narasi justru mengarah pada sensasi pesan yang ingin disampaikan pembuat film kepada penonton.

Narasi film berlanjut tidak membentuk kesatuan utuh dengan memaksakan tokoh Hendra yang mengalami kecelakaan saat perjalanan dari kota. Padahal, ada sebuah rahasia yang telah disampaikan Pak Budiman kepada Hendra. Sampai akhirnya ada sosok misterius yang menggedor kamar Pak Budiman setelah Hendra beranjak dari tempat itu. Semua kisah dibiarkan menggantung begitu saja.

Cerita film ini juga menjadi tidak terasa segar dan familiar. Beberapa adegan cenderung mencoba beradaptasi dengan part story The Conjuring yang sudah menjadi box office dunia. Adegan penampakan hantu di cermin, tangan hantu yang masuk ke dalam mukena, properti lonceng dan sumur tua, hingga anak kecil yang sulit bicara. Adegan Ian yang seolah melayang karena ditarik oleh penampakan begitu terlihat tali sling di pinggang Ian. Kekuatan adegan dalam setiap cerita pun semakin berkurang.

Rumah tua di pedalaman dengan sejumlah jump-scare juga banyak penonton temui seperti di film-film horor lainnya. Ada hantu wanita yang tertawa lebar dengan perputaran shot dan hantu nenek yang muncul dengan suara sedang menderita asma bisa penonton temui saat menonton film Insidious.

Secara personal jump-scare dalam film Pengabdi Setan juga terbilang sering sehingga ketakutan pun tak terlalu membuat suasana meledak (excited). Penampakan hantu-hantu hanya berusaha menguji adrenaline dan memaksa penonton untuk ikut senam jantung seperti naik roller coaster.

Bahkan di akhir cerita, saat semua hantu mendobrak pintu rumah mereka, ketakutan semakin berkurang karena hantu tidak lagi menyeramkan. Sebenarnya, hal ini terjadi sejak pertengahan film, setiap kali penampakan hantu ada di layar bioskop, penonton bisa saja tertawa sambil menjerit ketakutan, lebih tepatnya ditakut-takutin dalam gedung bioskop.

Penonton zaman now hanya tersugesti dengan reaksi video viral yang katanya direkam saat premiere film ini. Mungkin saja video ini menjadi strategi marketing di era digital yang membuat para pengguna media sosial kepo akut untuk menonton film ini. It's annoying.

Semua adegan yang telah diulas sebelumnya jika dibandingkan dengan film Pengabdi Setan terdahulu, versi terbaru ini masih terlalu kaku. Penulis lebih merasa takut untuk menonton film ini versi zaman dahulu karena atmosfer tempo dulu yang penuh mistis begitu kental. Sensibilitas penonton terhadap hal-hal yang menakutkan di zaman dahulu seharusnya bisa dipertahankan. I've watched the original and I still think it's scarier than the new one.

Padahal, kemunculan hantu-hantu dengan memanfaatkan jendela dan pintu memang jadi momen yang mendekatkan penonton pada hal-hal dalam keseharian. Hanya saja, beberapa penempatan tata cahaya juga belum diperhitungkan dengan matang. Beberapa kali cahaya malam hari yang mungkin diibaratkan sebagai terang dari bulan dan bintang justru terlihat seperti di pagi hari. Adegan ini terjadi di kamar Bondi dan Ian yang jendelanya berbatasan langsung dengan areal pekuburan Ibu.

Untuk menambah efek seram yang lebih nyata, film Pengabdi Setan juga menggunakan practical effectseperti penggunakan make upcharacter yang dirias oleh Darwyn Tse didukung juga tata busana yang dikerjakan oleh Isabelle Patrice. Walaupun mereka menjadi nominator dalam FFI 2017, rasanya masih sulit bersaing dengan nominator lainnya. Hal ini dikarenakan kemunculan setan tidak begitu intens sepanjang film. Sosok setan yang muncul pun tidak begitu memorable di mata penonton. Selain sosok ibu yang viral karena meme yang diunggah di media sosial.

Tidak ada perbedaan yang mendasar dari tata rias dan busana saat ibu masih terbaring lemah maupun saat Ibu bangkit dari kubur. Wajah yang sangat pucat dengan lingkaran hitam di mata hingga rambut panjang tak beraturan. Dengan pakaian tidur berwarna putih, ibu yang masih hidup hampir sama dengan ibu yang sudah mati. Mungkinkah sosok ibu sebenarnya sudah meninggal sejak awal film berlangsung?

Film horor yang baik memang tidak sekadar menjual "setan" yang sudah dibentuk sedemikian rupa oleh tim make up, melainkan film horor yang dengan cerdik memberitahu penonton bahwa ada yang lebih seram dari "setan" itu sendiri. Hal ini menjadi kunci daya tarik film horor yang mampu menciptakan atmosfer sekaligus membentuk kerangka film secara organik.

Dengan dalih reboot bukan remake, narasi Film Pengabdi Setan diperluas menggunakan kisah tentang sekte yang meniru dari cerita horor majalah yang sudah pakem. Ini salah satu upaya untuk mengelabui penonton. Sepertinya, sutradara hanya mengambil premis dasar versi asli lalu menginterprestasi secara lebih bebas.

Jika ingin dibuat sekuel, sudah seharusnya abdi setan mendapat eksplorasi yang lebih dalam dengan motivasi-motivasi yang dibeberkan kepada penonton. Film ini masih menyisakan misteri yang membuat penonton berpikir mau dibawa ke mana arah cerita. Meski film telah berani mengambil resiko berupa benturan warna cerita dari beberapa referensi ataupun jokes yang mengundang kontroversi.

Setidaknya film Pengabdi Setan versi terbaru berhasil membuat penonton untuk partisipasi menjerit histeris. Gimana nggak histeris, tata suara dan musik menggiring suasana mencekam dan membawa penonton seolah ikut kaget karena berada dalam situasi tersebut. 

Wajar saja Khikmawan Santosa dan Anhar Moha menjadi nominator dalam kategori penata suara terbaik dalam FFI 2017. Ia berhasil membangun suasana mencekam melalui suara-suara menyayat yang bertaburan sejak awal film. Sense of emotional terhadap atmosfer film juga terdengar jelas memekik kesunyian malam. Penonton bisa saja menutup mata sambil menutup telinga saat intensitas suara mulai meninggi. It's a scary good time for sound part.

Aghi Narottama, Tomy Merle, dan Bemby Gusti juga mampu menata musik dengan kejutan-kejutan menyeramkan secara perlahan. Nominasi penata musik terbaik juga mereka raih karena musik dalam film mampu mengiringi teror yang seolah tak ada hentinya akibat konflik yang tak kunjung mendapat pencerahan. Scoring music ini sudah tahu waktu dan porsinya untuk membuat bulu roma penonton tidak rileks lagi.

Namun, penulis memprediksi bahwa Film Pengabdi Setan justru akan membawa pulang piala citra melalui kategori Pencipta Lagu Tema Terbaik yang digarap oleh The Spouse dengan judul lagu Kelam Malam. Dengan lirik sederhana,lagu ini mampu mengungkap teror yang menimpa keluarga tersebut. Penonton akan diajak bersimpati pada kemalangan Rini dan keluarga saat lagu yang seolah disenandungkan almarhum Ibu diputar melalui piringan hitam.

Dalam urusan teknis, film Pengabdi Setan jelas tak mengecewakan. Selain mampu memanfaatkan desain musik dan suara yang dinamis, pergerakan kamera Ical Tanjung juga bersinergi dengan mulus membuat penonton terkejut. Penciptaan adegan-adegan mistis dengan teknik kamera berlensa wide yang mampu mengecoh penonton dengan unsur kekuatan dutch angle, bahkan close up shot mampu memberi visual menyeramkan. 

Penata sinematografi yang juga masuk nominasi FFI 2017 ini memang sanggup menghadirkan nuansa 80-an berlatar klasik dan mempertegas konsep mise-en-scene film. Warna film pun mampu memanjakan mata para penonton tanpa memaksa nafsu  untuk segera menunjukkan "setan" dan ketakutan yang berlebihan. Ini memberi pengalaman visual berbeda dibanding film-film horor lokal lainnya.Penonton akan menunggu adegan apa yang akan terjadi setelahnya. I agree with the color grading tone and cinematography on this movie.

Allan Sebastian sebagai pengarah artistik juga mampu mendapatkan rumah yang tepat untuk digunakan sebagai setting tempat film ini di daerah Pengalengan, Bandung. Ia mampu merenovasi rumah yang tidak layak huni, bahkan menambah sumur buatan untuk kebutuhan adegan. Aura bangunan rumah terkontrol secara detail memenuhi sudut-sudut ruangan.

Hanya saja penggunaan hand property seperti sisir kurang dieksplore dari sisi visual pada adegan-adegan awal. Sisir bagai pelengkap saja bukan sebagai simbol. Padahal, properti semacam ini bisa dikembangkan pada momen yang pas.

Tim produksi hanya memanfaatkan lonceng sebagai properti dengan simbol khusus yang lekat dengan sosok hantu Ibu. Bunyi lonceng memang memberi makna panggilan dari Ibu kepada anggota keluarga lain. Ibu yang terbaring lemah akan membunyikan lonceng saat Ia ingin makan, minum atau melakukan hal lainnya. Penggunaan properti yang sederhana, namun berdampak pada teror yang terjadi setelah Ibu meninggal karena setiap lonceng itu berbunyi menjadi pertanda bahwa ibu datang lagi ke rumah mereka.

Well, semua tokoh Pengabdi Setan juga ditulis seadanya. Beberapa karakter dibentuk untuk memberi asumsi tentang sosok Ibu yang penuh misteri. Contohnya, pengembangan karakter anak-anak dalam film ini membawa dinamika dalam keluarga untuk mempertahankan eksistensi cerita. Sebagai sosok-sosok yang ditinggalkan ibunya, mereka menghadapi kisah misteri tentang hari ini dan masa lalu yang pernah terjadi.

Penokohan terbaik dalam film ini layak diberikan kepada Ian (M. Adhiyat) sebagai si bungsu yang bisu. Pantas saja Ian masuk nominasi FFI 2017 dalam kategori Pemeran Anak Terbaik dan prediksi penulis Ia akan menang membawa piala citra karena mampu menafsirkan arahan sutradara dengan baik. Tingkah lakunya dalam film menjadi seorang anak yang berkomunikasi dengan bahasa isyarat mampu membuat penonton menjadi peduli. Nyawa Ian terancam dibagian akhir film dan pengembangan karakternya bisa masuk ke dalam alur cerita. Akting Ian natural, meyakinkan, dan menggemaskan sehingga sukses mencuri perhatian dalam film ini.

Pengembangan karakter Ian yang kuat tidak mampu diimbangi dengan karakter lainnya. Rini sebagai anak pertama dalam keluarga ini tidak mendapat perkembangan karakter yang begitu banyak. Sosok wanita tangguh, mandiri, dan tidak percaya takhayul akan kuat di awal saja. Semakin film berjalan, Tara Basro mungkin cukup keteteran oleh penggunaan aksen dialog seperti pemakaian kata 'kau' sehingga pengembangan karakternya dikurangi dalam naskah cerita ini.

Di awal, Toni juga menjadi sosok anak yang paling dekat dengan Ibu. Sebagai karakter anak pria tertua, Ia diceritakan menyambi bekerja bahkan memiliki keinginan untuk menjadi gigolo demi menghidupi adik-adiknya dan kebutuhan keluarga. Sepulang beraktivitas di luar rumah, Ia menyisir rambut Ibu sehingga saat kepergian Ibu untuk selamanya, Toni pun terngiang dengan bunyi lonceng yang menandakan bahwa Ibu memanggilnya. Karakter Toni juga menjadi eksoterik saat siaran radio yang didengarnya memunculkan ingatan tentang sosok Ibu. Hanya saja semua itu tidak dikembangkan lagi sampai akhir cerita.

Termasuk juga dengan karakter Bondi. Sosok anak yang menyebut kuburan lengkap dengan "areal pekuburan"ini terlihat masih kaku dalam berakting.Ia belum bisa berperan sebagai anak-anak seutuhnya. Dipertengahan film, Bondi tampil layaknya jiwa yang dirasuki makhluk halus. Ia hanya berdiam diri, bahkan sesekali mengambil pisau untuk membunuh Ian. Namun, seiring berjalannya cerita, Bondi menjadi baik-baik saja seolah tak pernah terjadi apapun yang menimpa karakter ini.

Selain karakter anak, Bapak yang diperankan oleh Bront Palarae juga belum menunjukkan kualitas akting maksimal. Jika dilihat dari segi fisik, penulis sempat menganggap bahwa Bront justru berperan sebagai kakek bukan bapak dari keempat anak tersebut. Karakter Bapak semakin tidak hidup karena artikulasi Bront Palarae sebagai aktor asal Malaysia juga belum terlalu fasih mengucapkan bahasa Indonesia. Fokus penonton akan terganggu dan berkata "barusan bapak bicara apa yaa?"

Terakhir, karakter Hendra. Dimas Aditya yang berperan sebagai tokoh Hendra juga tidak mampu memasukkan sepenuh jiwanya ke dalam karakter. Apalagi ditambah dengan penampilan fisik yang menggunakan wig. Meski tidak tampil sampai akhir, pengembangan sosok karakter anak laki-laki dari ustad ini juga tidak begitu banyak memberi arti. Hanya 2 sampai 3 kali beradu akting dengan Rini, lantas Ia hanya memberi solusi untuk mengajak Rini dan keluarga menginap begitu saja di rumahnya.

Itulah kelebihan dan kekurangan film ini. Pengabdi Setan versi Joko Anwar mungkin tidak menyajikan cerita yang menakutkan. Namun, sebagai sutradara yang menggarap genre horror, Ia mampu menawarkan sesuatu yang baru dari okultisme tabu. Interpretasi terhadap naskah begitu jelas melekat dengan idealismenya sebagai pembuat film. Aspek religi yang dulu kuat menjadi bagian tematis kisah film ini, diplintir sedemikian rupa sehingga versi terbaru menjadi antiklimaks dari Pengabdi Setan versi dahulu.

Ada sensasi tersendiri saat penulis memaknai metafora menonton film horor di ruang gelap bioskop bersama dengan barisan penonton lain yang antusias dengan menonton sendiri film horor lawas di kamar tidur. Soal seram atau tidak, hanya masalah selera dan subjektivitas penulis. Hal terpenting apakah filmnya bisa membuat penonton terikat dengan diri sendiri atau tidak sehingga film versi terbaru ini bisa membekas sepanjang masa.

Semoga saja storyline dari Film Pengabdi Setan reboot bisa menjadi batu loncatan film horor di Indonesia untuk naik kelas.Mengingat Pengabdi Setan adalah film horor panjang Joko Anwar pertama yang mungkin saja dikolaborasikan dari genre film karya-karya sebelumnya sehingga membentuk dramaturgi untuk sekuel film ini.

Joko Anwar layak mendapat pujian juga karena memiliki kemampuan untuk menghadirkan formula klise dengan efektif. Walau akhir film mudah ditebak, Ia tetap sukses secara eksekusi menghadirkan sensasi horor yang berbeda bukan horor erotisme. Ritme film berlangsung lancar dan pergerakan plot pun terasa lihai dicerna penonton awam. Setelah sekian lama, Film Pengabdi Setan hadir sebagai film horor Indonesia yang cukup memuaskan dan bersaing menjadi film terbaik di ajang perfilman bergengsi FFI  di tahun ini.

Keep on writing. Bangga film Indonesia!

Sumber: IG @Jokoanwar
Sumber: IG @Jokoanwar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun